Konten [Tampil]
Davin tersentak kaget, lalu bertanya, “Buat apa, Ra?”
“Aku ingin membayar harimu dengan sesuatu yang beda. Segeralah mandi dan pakailah pakaian Kak Nara yang telah aku siapkan. Lalu kita akan berangkat menuju sebuah tempat.”
“Ke mana, Ra?”
“Simpan dulu tanyamu itu. Nanti kau akan tahu.”
***
Aku mengendarai mobilku. Kali ini aku yang memegang kemudi, karena ini mobilku, lagipula Davin masih belum tahu aku akan mengantarkannya kemana. Biarkan ini menjadi hal yang spesial dan istimewa baginya.
Satu jam kemudian, mobilku telah terparkir dengan manis di dekat pohon trambessi. Aku dan Davin pun turun dari mobil.
Davin melihat sekeliling.
“Ra, ini yang namanya Kota Tua?” tanya Davin sumringah. Bola matanya berbinar-binar melihat bangunan dan pemandangan yang ada di kawasan Kota Tua.
Aku sempat heran, memangnya Davin orang mana sih? Kok sampai nggak pernah datang ke kota tua?!
“Kota Tua itu keren banget ya. Sedari tadi saya melongo melihat bangunan-bangunan dan gedung-gedung tua di sekeliling. Artistik banget. Dan ternyata ini ya yang namanya Kota Tua. Keren banget, nggak ada tandingannya,” kata Davin panjang lebar. Rupanya dia teramat senang karena telah kuajak ke Kota Tua.
“Itu artinya hutangku sudah lunas kan perihal Kota Tua?” kataku mencoba mengingatkan Davin pada memori ketika pertama kali bertemu.
Davin terdiam sejenak, lalu tergelak. “Lunas wahai Putri Maura yang cantik jelita...”
Aku tersenyum puas.
Di sekitar Museum Fatahillah, banyak sekali orang yang datang untuk menghabiskan sore. Mereka datang dengan sanak saudaranya, kawannya dan juga kekasihnya. Sebagian besar dari mereka datang untuk sekedar mengobrol, nongkrong dan ada pula yang mengabadikan diri di depan Museum Fatahillah sebagai ikon Kota Tua.
“By the way... ngapain kita bawa-bawa piano segala?” tanya Davin tiba-tiba.
Aku pun teringat akan sesuatu. Tapi aku masih akan tetap merahasiakannya. “Simpan lagi tanyamu. Nanti kau akan tahu.”
Davin hanya bisa mendengus kesal karena aku masih belum memberi tahu rencanaku tentang alasan membawanya ke Kota Tua.
“Sekarang, mari kita turunkan piano dan meletakkannya di sana,” kataku sambil menunjuk sebuah area kosong, sekitar 10 meter dari sisi depan Museum Fatahillah.
“Oo... saya tahu!” seru Davin yang sepertinya sudah mengetahui gelagatku. “Pasti kita mau... ngamen ya?!”
“Sip! Aku suka sekali istilahmu,” seruku kegirangan.
“Kenapa kamu nggak bilang sejak awal kalo kita mau ngamen elegan di Kota Tua? Kan saya bisa menyiapkan segala sesuatunya sejak awal...”
“Kalo aku bilang sejak awal, itu bukan surprise namanya...” sahutku.
“Oo... ternyata itu maksudmu. Dan kalau boleh jujur, kamu berhasil membuatkan surprise untuk saya. Kejutan kamu benar-benar istimewa,” seru Davin yang kemudian merangkulku dengan hangat.
Tak berapa lama kemudian, piano telah diturunkan dari mobil dan kami sama-sama membawanya ke tengah lapangan Museum Fatahillah. Berat memang, tetapi jika dilakukan bersama Davin, tentu akan terasa ringan.
“Untung pianonya kecil. Bukan piano besar yang sukanya menghabiskan tempat,” celetukku.
“Sudah... jangan banyak komentar. Kamu yang punya ide, tapi kamu yang mengeluh,” sahut Davin.
Piano yang memiliki panjang hampir 2 meter dengan lebar setengah meter ini telah berdiri manis di lapangan tengah Museum Fatahillah. Piano klasik yang berukuran mini ini siap untuk dimainkan.
“Ra, ketika saya main piano, memangnya kamu ngapain? Cuma melihat saya dari kejauhan?” tanya Davin yang mencoba menghinaku.
Tanpa banyak kata, aku mengambil tasku dan mengambil sebuah rok balerina berwarna putih. Davin terkejut saat melihat rok balerina yang aku bawa.
“Kamu jadi balerina yang mengiringi saya bermain piano?”
Aku mengangguk mantap.
***
Love is that feeling can you make happy
– Unggul Teguh Prasetyo -
Posting Komentar
Posting Komentar