Konten [Tampil]
“Na, aku mau nanya, boleh?”
“Nanya aja,” jawab Nana centil.
“Radit dimana?” tanyaku dengan hati-hati.
“Loh? Kok elo nanya Radit?!” tanya Nana dengan nada tinggi. Sepertinya ia akan mencurigaiku dan tentu saja akan marah padaku.
“Aku mau nyari Davin,” terangku dengan sigap. Aku tidak mau Nana berburuk sangka padaku.
Nana membulatkan mulut, “Oo...” Nana bernafas lega, terlihat dari postur tubuhnya yang kembali mengendor.
“Jam segini Radit sedang ada di studio. Dan kalo elo mau ke studionya Radit ya silahkan, tapi jauh, Ra. Butuh waktu 2 jam untuk sampai sana.”
Aku menunduk lesu.
“Wuah, jauh banget ya,” keluhku.
Perjalanannya 2 jam, lama. Belum tentu aku tahu tempatnya. Ah, kenapa clue kedua sulit sekali sih untuk menemukan Davin?
“Oh ya, Ra. Nanti malam elo ada acara?” tanya Nana tiba-tiba.
“Enggak, kenapa?” tanyaku balik.
“Nah, nanti malam Radit ada di resto. Restonya nggak jauh dari sini, kok.”
“Oh ya?” Aku terkejut seperti mendapatkan angin segar. “Restonya dimana?”
“Nggak jauh dari sini, Ra. Kamu lurus saja ke arah barat, lalu ada perempatan belok kanan. Sekitar 500 meter dari perempatan ada sebuah resto. Nama restonya adalah Nada-Nada Kepiting.”
Oh iya, aku baru ingat kalo Radit pemilik resto Nada-Nada Kepiting.
***
“Silahkan diminum moccachinonya, Ra. Mumpung masih hangat,” ucap Radit yang mempersilahkanku.
Aku menyeduh moccachino yang baru saja datang.
“Elo mau nanya tentang Davin?” tebak Radit dengan mata menyelidik.
Aku pun meletakkan moccahino yang telah aku seduh di atas meja. Aku senang karena Nana telah memberitahu maksud kedatanganku bertemu Radit.
Aku mengangguk. Mengiyai tebakan Radit.
“Seharusnya malam ini Davin ada di sini untuk menjadi pengisi musik. Dia punya kontrak sama gue untuk menjadi pianis di resto gue setiap malam kecuali malam Minggu. Tapi masa kontraknya telah habis sekitar 2 minggu yang lalu. Saat gue menawarkan kontrak lagi pada Davin, dia menolaknya tanpa memberi tahu ke gue apa alasannya.”
“Lalu?”
“Tapi gue nggak berhenti sampai di situ, Ra. Gue tahu Davin adalah seorang pianis hebat, berbagai genre musik bisa dia mainkan. Sebagai pemilik resto, gue nggak mau kehilangan pemusik gue. Dan sebagai sahabat, gue nggak mau kehilangan Davin, dia sahabat terbaik gue.”
Aku menyeduh kembali moccachino yang disediakan untukku.
“Kerjanya Davin nggak cuma di sini aja, dia juga kerja di tujuh hotel yang berbeda untuk tawaran yang sama, yaitu menjadi pianis. Dan saat gue mendatangi ketujuh hotel tersebut satu persatu, mereka semua bilang bahwa Davin mengundurkan diri.”
Jujur, aku baru tahu bahwa ternyata Davin adalah seorang pianis yang telah dikontrak oleh tujuh hotel dan satu resto. Selama ini Davin tidak pernah bercerita padaku tentang kerja dan karirnya. Aku pun juga tidak pernah bertanya tentang pekerjaannya.
“Jadi?”
“Jadi gue sama sekali nggak tahu dimana Davin sekarang,” kata Radit yang memberikan sebuah kesimpulan padaku.
Aku pusing dibuatnya. Padahal aku berharap Radit dapat memberikan informasi yang jelas tentang Davin. Ternyata eh ternyata, Radit juga sedang mencari Davin.
Ingin rasanya aku berteriak, Davin... kamu dimana?!
“Oh ya, by the way... lo udah pernah menghubungi keluarganya Davin?”
Aku berpikir sejenak, “Belum...”
***
Menikmati malam hari tanpa kehadiran Davin sungguh tidak mengenakkan. Merasa dibayang-bayangi asa tanpa kejelasan. Melakukan pencarian tanpa ujung, tapi tak kunjung bertemu. Menjalani kehidupan layaknya mumi, yang selalu merasa tersakiti hingga pagi.
Beberapa orang sedang menikmati tidurnya yang lelap, tapi aku masih bertekuk lutut dalam gelap. Bodoh memang. Tapi aku tulus mencintai Davin. Dan aku rela untuk mencarinya, sampai lelah, sampai mati. Mungkin.
Di antara bodoh dan tulus, ada satu garis tipis yang menyekatnya, nyaris tak terlihat. Garis itulah yang mengaburkan perbedaan antara bodoh dan tulus, yang membuat mereka-mereka merasa tulus mencintai seseorangnya tetapi malah terjebak dalam kebodohan. Ya, karena seseorang yang diimpikan tak kunjung menjadi nyata dan hanya hadir dalam imajinasi. Sungguh menyesakkan hati.
Cinta yang penuh imajinasi, hanya akan menimbulkan perih. Cinta yang tidak memberikan kepastian, bisa menularkan sebuah penyakit yang bernama kebodohan. Cinta yang tak terbalas, selalu menerbangkan harapan-harapan dan membuatnya menjadi debu di atas alas. Cinta yang hina, hanya akan membuat pemiliknya hidup terombang-ambing dalam dunia fana. Dan cinta yang masih menunggu, hanya akan menambah pahala, lebih bersabar. Tapi hasilnya mendekati nihil, belum tentu ia hadir di depan mata untuk membuatmu sadar. Semuanya memang menyakitkan. Wajar saja, karena yang dibicarakan adalah hal yang berikatan langsung dengan hati, yang tak akan pernah habis dipermasalahkan.
Sekeping hati tak akan pernah menjadi utuh apabila tak tersentuh. Lebih tepatnya, tak tersentuh oleh cintamu. Jadi, aku mohon, kembalilah wahai Pangeran Hati yang bernama Davin. Sentuh hatiku, arungi cintaku yang dalam dan hiasi hari-hariku dengan keindahanmu.
Kembalilah. Aku merindukanmu.
***
Cinta adalah kasih yang ikhlas dan rela berkorban
– Satrianing Nuswantoro -
Posting Komentar
Posting Komentar