Konten [Tampil]
Kata orang, dua hal yang paling membahagiakan bagi umat manusia secara umum adalah ketika menikah dan ketika melahirkan. Kata orang sih, menikah sangatlah membahagiakan, tetapi kenapa orang-orang juga mengharuskan kita untuk ‘setidaknya’ menikah sekali seumur hidup? Mengapa hal yang bahagia disarankan untuk dilakukan hanya sekali?
Kata orang tua sih, kebahagiaan lainnya adalah ketika melahirkan bayi sehat tanpa kekurangan satu apapun dan ibu dari bayi tersebut selamat. Turut pula ayah dari si bayi yang menemani sang ibu ketika sedang berjuang mempertaruhkan nyawa. Maka lengkaplah kebahagian sebuah keluarga kecil.
Hari ini adalah hari yang paling menegangkan bagi Om Danang. Menegangkan sekaligus membahagiakan. Bagaimana tidak? Pukul 7 malam nanti, resepsi pernikahan akan digelar. Itu artinya, beberapa menit lagi resepsi pernikahan akan segera dimulai.
Dengan konsep Europe Wedding, pernikahan yang berkiblat pada pernikahan orang-orang Eropa akan berlangsung dengan sangat meriah, tentu saja tampak elegan.
Pernikahan digelar dengan konsep dasar garden party. Jadi pernikahannya dilangsungkan di taman yang luas. Taman yang digunakan adalah lapangan golf. Entah bagaimana bisa Om Danang menyewa lapangan golf untuk dijadikan tempat resepsi pernikahannya. Sedangkan dekorasi pelaminannya diadaptasi dari pernikahan yang biasanya digelar di Eropa. Bunga mawar putih bertebaran di setiap sudut tempat. Dan entah bagaimana bisa Om Danang menghadirkan ribuan mawar putih yang masih segar sampai malam hari ini.
Kedua pengantin menggunakan baju pengantin bergaya ala Eropa nan elegan. Om Danang mengenakan setelan jas serba putih dengan dasi kupu-kupu berwarna putih. Sedangkan Tante Nanda sebagai pasangan pengantin Om Danang, mengenakan gaun pengantin berwarna putih yang panjang ekor gaunnya mencapai hampir 2 meter yang terkesan ingin menyaingi Putri Diana. Yang menarik dari gaun yang dikenakan oleh Tante Nanda adalah adanya mawar-mawar putih segar yang melingkari gaunnya. Sungguh indah gaunnya.
Sedangkan kerabat terdekat Om Danang yang turut serta menjadi sie sibuk mengenakan setelan jas serba putih untuk pria dan gaun putih yang mengembang serta menjuntai sampai ke lantai untuk wanita, pokoknya mirip dengan gaya pernikahan di Eropa.
Undangan yang hadir diharuskan ‘minimal’ mengenakan setelan jas atau busana berwarna putih untuk mengimbangi elegannya pernikahan bergaya Eropa.
Tak jauh dari tempat pelaminan, ada sebuah lingkaran besar berdiameter 5 meter dengan tinggi 1 meter sebagai tempat pertunjukan musik dan tari. Jelas, yang dimaksud adalah aku dan Anya serta seorang pianis.
Aku telah bersiap di atas panggung pertamaku. Aku mengenakan ballerina dress berwarna putih. Anya juga mengenakan ballerina dress yang sama denganku. Yang unik dari dandanan kami berdua adalah dandanan kami yang tidak berubah. Sungguh natural. Aku tidak memanjangkan rambutku, jadi aku akan menari balet dengan rambutku yang pendek. Dan Anya juga tidak menggelung rambutnya, malah ia meminta penata riasnya untuk membuat rambutnya dikuncir kuda, tentu saja menguncirnya dengan tidak asal-asalan. Memang aneh, tapi setidaknya sangat berkesan.
Aku masih tidak tahu siapa pianisnya. Yang aku khawatirkan, apa pianis tersebut bisa mengimbangi semua gerakanku dan Anya? Karena tidak pernah sekalipun pianis tersebut hadir untuk sekedar berlatih bersama. Jangankan berlatih, namanya saja aku tidak tahu. Namanya dirahasiakan oleh Anya. Davin malah senyum-senyum sendiri ketika aku menanyakan siapa pianisnya. Ah, mereka sudah bersekongkol untuk mengunci mulut rapat-rapat.
Acara segera dimulai. Aku dan Anya telah berdiri dengan anggun di atas panggung lingkaran yang sedang kami pijak. Kursi piano putih tersebut masih kosong. Pianisnya masih belum datang. Aku jadi semakin resah.
Tiba-tiba Davin datang dan telah berdiri di atas panggung bersamaku dan Anya. Dia datang sambil memamerkan gigi putihnya. Aku tahu, maksudnya tersenyum, tapi bagiku berlebihan.
“Kok kamu tiba-tiba datang ke sini, Vin?” tanyaku sambil berbisik.
Davin hanya tersenyum.
“Kak Davin kece kan pianis yang akan mengiringi kita menari balet,” sahut Anya tiba-tiba.
Aku melongo. “Serius?”
Davin dan Anya mengangguk pasti.
Aku terkejut bukan kepalang. Kepalaku seperti pecah, tak tahan dengan situasi di hadapanku yang membuatku sungguh tidak percaya. Ini bukan bohong kan? Ini nyata kan? Dan ingin aku berteriak, kenapa kalian berbohong?!
Huh, sungguh aku dibuat kesal olehnya. Bukan kesal yang berarti benci. Tapi kesal yang cenderung membuatku tertawa dengan tingkah lakuku selama ini yang sama sekali tidak menaruh curiga pada skenario Anya dan Davin.
Ingin rasanya aku mengutuk diriku. Betapa bodohnya aku yang tak peka dengan skenario mereka. Dan ujung-ujungnya, aku terpaksa menertawakan diriku sendiri.
Dengan legowo, aku berkata pada Davin, “Kamu kok nggak bilang kalo kamu yang akan menjadi pianisnya?”
Davin hanya tersenyum. Sedangkan Anya tertawa nyengir tanpa dosa.
Acara segera dimulai. Davin bersiap di atas kursi pianonya. Sedangkan aku dan Anya bersiap dengan posisi awal ketika akan menari balet.
Iringan piano dari sentuhan jari jemari Davin membuat acara resepsi pernikahan terkesan benar-benar elegan. Aku dan Anya menari balet dengan serius tapi tetap santai menikmati alunan piano yang berkiblat pada musik-musik Eropa klasik tempo dulu.
Dari atas panggung, aku melihat para undangan tampak menikmati acara resepsi pernikahannya Om Danang. Aku tersenyum dibuatnya. Tak jarang pula, orang-orang berkerumun di sekitar panggung yang sedang aku pijak, untuk sekedar melihat tarian kami sambil menikmati hidangan khas Eropa yang telah disajikan.
Aku sempat melirik Om Danang yang memberiku acungan dua jempol dari kejauhan. Aku tersipu malu atas sanjungan tak langsung dari Om Danang.
Kalau boleh jujur, kehadiran Davin yang muncul secara tiba-tiba di panggung yang aku pijak, membuat tubuhku merasakan euforia yang lebih dari biasanya. Aku benar-benar terkejut ketika aku mengetahui bahwa Davinlah yang menjadi pianis saat kami menari balet. Karena aku tidak pernah berpikir bahwa Davin yang akan menjadi pianis. Membayangkan Davin berada di balik piano pun tak pernah. Jadi, aku benar-benar tak percaya bahwa Davin bisa bermain piano, bahkan memainkan tuts-tuts piano seindah ini.
Sungguh di luar dugaan. Aku yang pada awalnya mengira bahwa pianisnya belum tentu bisa mengimbangi gaya menariku dan Anya, malah berbalik 180°. Aku benar-benar tak percaya. Ternyata pianisnya sangat jago dan ternyata pianisnya adalah Davin, orang yang selalu membuatku tak terduga.
***
“Ra,” panggil Davin tiba-tiba.
Aku yang sudah selesai mengganti pakaian baletku dengan pakaianku sehari-hari, menoleh pada Davin yang juga telah selesai mengganti pakaiannya.
“Ya?”
“Besok malam kamu ada acara nggak?” tanya Davin.
“Hmm...” aku mencoba mengingat-ingat jadwalku besok malam. Sepertinya ada, yaitu shopping bareng Mama sebagai rutinitas mamijo alias malam minggu jomblo.
Jika Davin bertanya seperti ini, berarti dia mau mengajakku keluar, bukan begitu? Wuah, sepertinya ini adalah kesempatan langka dan nggak boleh disia-siakan. Acara mamijo bareng Mama adalah urusan belakangan, bisa diaturlah, Mama pasti ngerti kok.
“Hmm... nggak ada sih.. Memangnya kenapa?” tanyaku balik.
“Saya mau mengajakmu dinner lagi, mau?”
“Dinner berdelapan?” cecarku penuh curiga, terlintas di pikiranku tentang dinner di Faraday Cafe yang terkesan seru tapi nggak ada romantis-romantisnya.
“Enggak, berdua aja kok.”
“Berdua? Kita?” seruku gagu sambil menunjuk diriku dan Davin secara bergantian, seakan tak percaya.
“Iya. Kenapa? Keberatan?”
“Keberatan apa? Aku lagi nggak bawa barang-barang berat kok.”
***
Cinta itu makin didefinisikan makin nggak ceto
– Una Rasuna Wibawa -
Posting Komentar
Posting Komentar