Konten [Tampil]
Aku terbangun. Sinar matahari yang menerobos jendela kamarku memaksaku terbangun dari tidur singkatku. Baru aku sadari bahwa aku tidur dengan posisi yang tidak menyehatkan. Dengan posisi duduk dan kepala tergeletak di atas meja. Dan baru aku sadari bahwa ternyata jari-jemari tangan kananku masih memegang bolpoin.
Aku teringat, semalam aku membuat 2 puisi. Satu puisi yang telah jadi dan yang satunya masih berada di ambang pemikiran, belum menemukan yang pas untuk melengkapinya.
Aku berdiri dari kursiku kemudian aku mencoba merilekskan tubuhku dengan cara menggeliatkan badan seenak jidat.
Tidur dengan posisi duduk sungguh tidak mengenakkan. Hanya akan membuat tubuh semakin lelah.
Aku pun bergegas menuju kamar mandi. Tak hanya untuk membasuh muka, namun juga untuk membilas tubuh. Sepertinya mandi akan membuat tubuhku menjadi lebih baik dan lebih segar.
Sekitar setengah jam kemudian, aku keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih menempel di kepala. Sambil sesekali mengeringkan rambut dengan handuk, aku sibuk memilih baju yang akan aku kenakan pagi ini.
Hari ini hari Kamis. Sepertinya aku akan datang ke butik siang nanti. Aku ingin menghabiskan separuh hariku di rumah. Aku ingin tenang di rumah.
Setelah selesai mengenakan pakaian dan merapikan diri, aku bergegas menuju halaman depan rumah. Aku ingin berkebun.
Aku segera mengambil selang air untuk menyiram tanaman. Ada banyak tanaman di tamanku. Ada mawar merah, mawar putih, melati, sedap malam, seroja, anggrek dan tanaman-tanaman lain yang tak berbunga.
Taman ini milik Mama dan juga milikku. Sebenarnya aku yang menggagas ide untuk membuat taman di halaman depan rumah. Tapi berhubung aku sering sibuk dan tak punya banyak waktu untuk mengurus taman, walhasil Mama meluangkan waktunya untuk mengurus taman ini.
“Cieee... tumben nih anak Mama yang paling bontot mau nyiram tanaman?” celetuk Mama yang datang tiba-tiba tanpa menampakkan batang hidungnya terlebih dahulu.
Aku yang merasa menjadi sasaran celetukan Mama hanya bisa cengegesan.
“Kamu sedang jatuh cinta ya Maura sayang?” celetuk Mama lagi.
Haeh? Jatuh cinta? Aku heran dengan kata-kata Mama. Memangnya apa sih hubungannya menyiram tanaman dengan jatuh cinta?
Lagipula, jatuh cinta itu ribet. Kita harus merasakan yang namanya sakit hati. Seperti kata pepatah, kalau berani jatuh cinta maka juga harus berani sakit hati. Iyalah, dimana-mana yang namanya jatuh pasti sakit. Begitu juga kaitan antara jatuh cinta dengan sakit hati. Kalau sakit hati bisa diobati sih, nggak masalah. Tapi memangnya ada rumah sakit yang spesial mengobati cinta yang terluka? Kalau memang ada, aku bersedia menikah dengan dokter spesialis cinta, biar nggak sakit hati lagi.
“Semalam kamu diantar siapa? Pacar baru?” selidik Mama tiba-tiba.
Pikiranku langsung menuju ke memori beberapa jam yang lalu. Tentang Davin yang mengantarkanku pulang sampai ke rumah. Entah bagaimana bisa Mama tahu bahwa semalam aku pulang diantar orang lain.
“Bukan. Dia teman, Ma,” jelasku.
“Yaelah... Kok cuma teman sih, Ra?”
“Memangnya Mama mintanya apa? Pacar? Masih jauh, Ma. Kita juga baru kenal kok,” jelasku lagi.
“Yaa... kali aja dapetnya cepet,” celetuk Mama lagi.
Aku hanya diam, tak menyahuti celetukan Mama lagi. Kalau Mama sudah berceletuk seperti ini, nggak akan ada selesainya untuk menghabisiku dengan berbagai celetukan yang selalu membuatku kalah telak dan membuatnya menang bangga.
“Ya sudah, Mama masuk dulu ya. Mama mau bersiap pergi ke outlet,” pamit Mama. Mama pun meninggalkanku sendiri dan masuk ke dalam rumah. Aku masih asyik dengan selang airku untuk menyiram tanaman yang sudah sangat lama tidak kusiram sendiri.
Tin tin... Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil.
Aku melongok ke pintu gerbang. Aku penasaran, siapa yang datang ke rumah jam segini?
Satpamku yang juga merangkap sebagai penjaga pintu gerbang segera membuka pintu gerbang dengan cepat. Ada sebuah mobil sedan hitam mengkilap yang terparkir dengan manis di depan rumahku. Itu mobil siapa?
Tiba-tiba muncul seseorang yang berdiri tak jauh dari mobil sedan hitam. Ia mengenakan celana jeans panjang dan kaos lengan panjang berwarna putih polos. Wajahnya tak asing olehku. Sepertinya aku mengenalinya.
“Hei,” sapanya.
Ternyata Davin. Panjang umur dia.
Aku segera mematikan kran air yang berada tak jauh dariku, kemudian bergegas menghampiri Davin.
“Eh, kamu Vin, ada perlu apa kamu ke sini?” sambutku.
“Saya mau mengembalikan sepeda kayuhmu,” jawab Davin.
Sejenak aku berpikir, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi dengan sepeda kayuhku.
“Oh iya, aku baru ingat kalau sepeda kayuhku masih ada di kamu,” cetusku yang baru ingat bahwa sepeda kayuhku tidak sampai ke rumah semalam, malah menginap di rumah Davin.
“Tapi..” kata-kata Davin mulai menggantung.
“Tapi apa?” tanyaku penasaran.
“Tapi ketika sampai di tengah jalan dalam perjalanan menuju rumahmu, saya lupa untuk membawa sepeda kayuhmu,” terang Davin.
“Jadi?”
“Jadi sepeda kayuh kamu masih ada di rumah...” kata Davin tanpa dosa.
Hah? Aku menunjukkan ekpresi kecewa yang bercampur dengan ketidakpercayaanku.
“Tapi saya membawa ini buat kamu,” lanjut Davin sambil menyerahkan seikat mawar putih padaku yang sebelumnya ia sembunyikan di balik punggungnya.
Aku yang disodori seikat mawar putih, menjadi heran s¬eketika.
“Mawar putih ini untuk apa?” tanyaku.
“Sebagai tanda permintaan maaf.”
“Maaf untuk apa?”
“Karena saya telah lupa tidak membawa sepeda kayuh milikmu,” lanjut Davin sambil menyodorkan lagi seikat mawar putih untukku yang belum sempat aku terima.
Mau tak mau, aku pun menerimanya. Sebagai tanda bahwa permintaan maaf telah diterima.
Aku mencium baunya, harum sekali.
“Terima kasih. Bunganya benar-benar harum,” pujiku. Davin hanya tersenyum simpul menanggapi pujianku.
“Oh ya, daripada saya lupa lagi, bagaimana kalau saya langsung mengantarkan kamu ke rumah saya untuk mengambil sepeda kayuh kamu. Kamu tidak ada kerjaan pagi ini kan?” tawar Davin.
Aku berpikir sejenak.
“Hmm.. boleh...” jawabku.
“Ayo, naiklah ke mobil.”
“Eits, tunggu dulu,” aku mencegah Davin membuka pintu untukku.
“Ada apa?”
“Bagaimana jika aku berganti baju dulu?” pintaku pada Davin sambil menunjukkan pakaian yang aku gunakan. Mengenakan rok selutut dengan baju lengan pendek sungguh tidak sopan bagiku jika bertandang ke rumah orang lain, meskipun hanya mampir sebentar. Kurang etis rasanya, karena kita ada di budaya timur yang menjunjung tinggi nilai sopan santun antar sesama.
“Bagi saya, nggak perlu sih. Kamu tetap cantik kok,” celetuk Davin.
“Masalahnya, nggak sopan jika aku pergi ke rumah orang lain dengan berpakaian seperti ini. Biarkan aku mengambil sweaterku sebentar ya?” pintaku lagi.
“Oke.”
***
Mobil pun terparkir di depan rumah berwarna coklat muda. Bangunannya artistik, bergaya eropa klasik. Tampaknya Davin orang kaya, rumahnya saja penuh gaya.
“Yuk, turun,” ajak Davin setelah mematikan mesin mobil.
Aku pun turun dari mobil. Begitu juga dengan Davin. Aku melihat dengan seksama rumah yang ada di hadapanku. Bagiku, rumah berarsitektur eropa klasik ini sangat rumit.
Davin berjalan mendahuluiku. Ia melangkah menjauhi rumah bergaya eropa klasik yang sedari tadi aku perhatikan. Aku heran dan lekas bertanya, “Loh, Vin, mau kemana?”
“Ya ke rumah lah, katanya kamu mau ngambil sepeda kayuhmu,” jawab Davin.
“Bukannya rumah kamu ini ya?” tanyaku sambil menunjuk rumah bergaya eropa klasik yang ada di depan mobil Davin.
“Oo... bukan... Itu rumah saya,” kata Davin sambil menunjuk rumah berwarna abu-abu berpadu merah. Di depan rumah yang ternyata adalah milik Davin, berjajar 3 mobil mewah. Aku sempat berpikir, masa’ itu punya Davin semua?
“Saya hanya titip parkir di situ, soalnya tidak ada tempat lagi untuk parkir di rumah saya. Saya sudah biasa kok parkir di situ, lagian di rumah itu juga nggak ada penghuninya,” terang Davin.
Aku langsung mules seketika karena dugaanku salah. Dan ini namanya salah kaprah. Sok-sok tahu mengenai rumah Davin.
Davin pun melanjutkan langkahnya menuju rumahnya. Aku pun juga mengikuti langkah Davin menuju rumahnya yang ternyata bergaya artistik modern.
Sesampainya di rumah Davin, Davin sebagai pemilik rumah langsung membuka pintu garasi dari luar garasi. Setelah dibuka, aku melihat sepeda kayuhku terparkir manis di dalam garasi. Aku menghampiri sepeda kayuhku.
“Wuah, sepeda kesayanganku,” celetukku sambil mengelus-elus sepeda kayuhku yang semalam menginap di rumah orang.
“Memangnya kamu punya banyak sepeda kayuh?” tanya Davin.
“Enggak sih. Aku cuma punya satu. Makanya sepeda ini jadi sepeda kesayangan karena cuma punya satu, hehe,” jelasku sambil tertawa nyengir.
Davin hanya membulatkan mulutnya.
“By the way, di luar rumah kamu kok ada banyak mobil, Vin? Itu mobil kamu semua?” tanyaku penasaran.
“Bukan, itu punya saudara-saudara saya. Mereka datang ke rumah hari ini,” jawab Davin.
“Ada acara apa?” tanyaku lagi.
“Acara keluarga. Yaa sekedar berkumpul bersama. Papa saya mau menikah, jadi keluarga besar saya sedang rapat di rumah ini,” terang Davin.
Kali ini aku yang membulatkan mulutnya.
Jadi, Papa Davin duda ya? Dan itu artinya Davin anak piatu. Berkebalikan denganku.
“Eh ya, kayaknya nggak afdol deh kalau kamu nggak gabung sama keluarga saya,” seru Davin tiba-tiba.
“Maksudnya?” Aku tidak paham dengan apa yang dimaksud Davin.
“Kita masuk ke dalam yuk. Sekalian saya memperkenalkan kamu kepada keluarga besar saya.”
“Tapi kan aku bukan siapa-siapa kamu, Vin,” elakku.
“Kamu kan juga teman saya. Masuk yuk,” pinta Davin sambil meraih tanganku lalu memaksaku untuk masuk ke dalam rumah. Mau tak mau aku harus ikut Davin dengan dalih ‘mau bagaimana lagi’.
Davin mengajakku masuk melangkah menuju ruang keluarga. Ada banyak sekali kerabat Davin, mungkin sekitar 15 orang. Mereka mengenakan baju serba putih. Davin juga mengenakan baju warna putih. Untungnya sweaterku juga berwarna putih, tapi rokku berwarna merah muda bermotif bunga warna putih. Yaa, setidaknya aku tidak terkesan salah kostum meski rokku didominasi warna merah muda.
“Vin,” panggilku pada Davin sambil menarik tangan Davin untuk mundur selangkah.
“Apa?” tanya Davin berbisik padaku.
“Aku nggak yakin...” rengekku.
Aku tidak yakin bisa leluasa bergabung dengan kerabat Davin. Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya jika aku hanya dijadikan sebagai penjual kacang yang tidak diperhatikan di tengah kerumunan keluarga Davin. Sungguh aku tidak bisa membayangkan bagaimana jatuhnya reputasiku di mata Davin dan keluarganya.
“Dicoba dulu. Nanti kalau ada yang nggak enak, biar saya yang ambil alih,” kata Davin lagi.
Aku hanya diam, tak berkata, takut salah jika menanggapi pernyataan Davin.
“Oh ya, kamu kenal Anya tidak? Dia juga les di Balenesia, loh?”
Aku yang mendengar nama Anya, langsung teringat teman les baletku yang cantik, yang rambutnya selalu dikuncir kuda. Wajahnya imut sekali. Maklum, dia masih kelas 3 SMP.
“Iya, aku kenal Anya, kenapa?” tanyaku balik.
“Dia adik saya. Dan sepertinya dia hadir di sini. Bagaimana kalau kamu memulai obrolan dengan Anya?” tawar Davin.
“Hmm... boleh...”
Mata Davin mencari sosok Anya. Kemudian berjalan mendekati keluarganya untuk menanyakan Anya.
Aku masih diam di tempat. Sepertinya kerabat Davin tidak merasakan kehadiranku di ruang keluarga. Ah, berada di sini membuatku semakin minder.
Yang ia datangi pertama kali adalah seorang pria berperut buncit. Sepertinya dia adalah Papa Davin, tertebak dari panggilan Davin. “Pa, Anya mana?”
“Mungkin masih di kamar,” jawab Papa Davin asal.
Tidak lega dengan jawaban papanya, Davin pun bertanya pada seorang wanita yang sedang menggendong bayi. “Tante Ria, Anya kemana?”
Wanita yang dipanggil Tante Ria tersebut menggelengkan kepala. Ia tidak berkata satu hurufpun untuk menjawab pertanyaan Davin. Rupanya ia sibuk menidurkan bayinya. Davin pun bergegas meninggalkan tantenya dan berjalan menaiki tangga untuk menuju lantai atas.
“Hei, Kak Maura,” sapa sebuah suara.
Aku menoleh ke sumber suara. Telah berdiri seorang remaja cantik dengan rambut kuncir kuda. Anya, teman les baletku.
“Eh, kamu, Nya...”
“Kak Maura ngapain di sini?”
“Diajak Davin ke rumah ini. Dan ternyata kamu adiknya Davin ya?” seruku.
“Iya. Kan aku pernah cerita ke Kak Maura kalau aku tuh punya kakak yang bernama Davin yang aku panggil kakak kece dan dia manggil aku adek unyu. Lucu kan?” kata Anya dengan nada yang khas anak SMP.
“Hehe, mungkin aku lupa dengan cerita kamu. Oh ya, Nya, Papa kamu mau menikah ya?”
Anya mengangguk kecil. Wajahnya sumringah.
“Wuah... selamat ya. Aku turut berbahagia...” ucapku pada Anya sambil memeluk Anya.
Anya senang bukan kepalang. Ia juga memelukku.
“Oh ya,” cetus Anya sambil menyudahi pelukanku, “Kak Maura pacarnya Kak Davin kece ya?”
“Enggak. Kita cuma teman kok,” elakku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika aku menjadi pacar seorang Davin Chris Setiabudi. Ah, bagiku itu hanya bualan belaka.
“Lalu, kalau cuma teman, kenapa Kak Maura ada di sini?” tanya Anya.
“Aku cuma mau ngambil sepeda kayuhku yang dibawa Davin,” jelasku.
“Oo...” Anya membulatkan mulutnya. “Terus, sekarang Kak Davin kece mana?” tanya Anya lagi.
“Kak Davin nyari kamu, Anya sayang...” sahutku sambil mencubit pipi Anya yang membuatnya semakin tampak imut.
Anya meringis kesakitan.
“Hei, ternyata kalian sudah bertemu rupanya,” kata Davin yang tiba-tiba nimbrung dengan obrolanku dan Anya.
“Ah, Kakak kece kemana aja sih? Aku nyari Kakak kece dari tadi...” rengek Anya pada Davin.
“Yaa kamu adek unyu yang kakak kece cari dari tadi. Kakak kece sampai muter-muter rumah buat nyari kamu Adek Anya yang unyu…”
Anya hanya nyengir tanpa dosa. Aku merasa sedikit aneh dengan panggilan mereka yang cukup tidak masuk akal di pikiranku, mungkin tidak terbiasa dengan tingkah akrab mereka yang terkesan konyol di mataku.
“Oh ya, saya keluar dulu ya,” pamit Davin.
“Mau kemana, Vin?” tanyaku.
“Mau mengangkut sepeda kayuhmu. Ntar kalo lupa bisa berabe jadinya,” jawab Davin kemudian bergegas meninggalkanku dan Anya.
Aku hanya tersenyum kecil mengingat betapa bodohnya Davin yang lupa membawa balik sepeda kayuhku tapi malah membawa bunga. Ah, ada-ada saja si Davin.
“Kak, aku memperkenalkan Kak Maura ke keluargaku ya?” pinta Anya padaku.
“Loh? Buat apa?” tolakku secara halus.
Tanpa mempedulikan tolakanku, Anya pun menarik lenganku dan memaksaku untuk mengikuti kemana kaki mungilnya melangkah. Ia menyeruak di tengah kerumunan kerabatnya.
Ia pun mencoba mencari perhatian sanak saudaranya yang tengah asyik berbicara dengan partner ngobrolnya masing-masing. Tiba-tiba Anya bertepuk tangan dengan keras sambil berseru, “Perhatian perhatian... Anya mau ngomong nih...”
Tak pelak, seluruh keluarga Anya yang sedari tadi keasyikan ngobrol kini memandangi Anya dengan tatapan heran. Kenapa dengan Anya? Mungkin begitu pikir mereka.
“Kenalin nih...” kata Anya sambil merangkul lenganku. Aku yang merasa diperkenalkan oleh Anya, malah gugup tidak karuan. Ingin rasanya berteriak, ini di luar skenario, bahkan ini nggak ada skenarionya...!!!
“Namanya Maurantia Nirwana. Panggil saja Maura. Dia seorang balerina, teman les Anya di Balenesia. Dia juga seorang desainer sepatu dan memiliki sebuah butik sepatu di dekat Kota Tua. Dan rumahnya Kak Maura ada di kompleks Griya Indah di blok depan,” seru Anya tanpa henti dan tanpa kontrol.
Kerabat Anya diam tak menanggapi pernyataan Anya. Tentu saja, informasi tentangku sangat tidak berarti buat mereka.
Melihat situasi yang mendadak hening, Anya meneruskan kowar-kowarnya, “Dan Kak Maura yang cantik jelita ini adalah pacarnya Kak Davin kece loooh,”
“Oo...” sebagian dari keluarga Anya membulatkan mulutnya. Kini mereka tahu apa tujuan Anya memperkenalkanku di depan keluarganya.
Aku yang merasa bukan pacar Davin, langsung mencubit pantat Anya. Sialnya, Anya hanya meringis menahan sakit.
Kemudian Anya melirik Papanya sambil berkata, “Papa, bagaimana Pa? Cantik kan pacar kakak kece? Aku yang menjamin bahwa Kak Maura cantik luar dalam.”
Ya ampun.. ingin rasanya aku lari dari kerumunan ini. Aku tidak suka dipromosikan seperti ini, jeritku dalam hati.
Aku yang sedari tadi menunduk tak mau berbicara karena gugup, akhirnya angkat dagu untuk memandang Papa Anya agar terlihat sedikit lebih sopan. Papa Anya hanya sibuk mengelus-elus dagunya. Tingkah Papa Anya yang diam tanpa kata membuatku semakin gugup.
“Namanya siapa tadi, dik?” kata Papa Anya memecah suasana yang mendadak hening dengan kehadiranku.
“Maurantia Nirwana. Biasa dipanggil Maura,” jawab Anya dengan lantang yang membuat gugupku semakin naik level.
Suasana hening seketika. Anya yang memiliki wajah tanpa dosa malah semakin antusias untuk memamerkan giginya yang putih sebagai wujud bahwa dia tidak sedang salah situasi.
Namun sayang, gugupku semakin tidak terkendali. Mungkin level gugupku sudah stadium 4, mungkin setengah jam lagi bisa mati, saking akutnya. Ingin rasanya aku mengutuk Davin yang sepertinya sudah merencanakan ini semua. Aku sangat kesal dengan Davin.
“Selamat datang di keluarga besar Setiabudi...” seru Papa Anya memecah keheningan dengan disambut tepuk tangan meriah dari seluruh kerabat Anya.
Aku yang mendengarnya, hanya bisa melongo tak percaya. Mengapa keadaan bisa berbalik dari apa yang aku pikirkan? Sungguh di luar perkiraan.
***
Cinta itu “meskipun” dan bukan cinta itu “karena”
-Indonesian Strong from Here-
Posting Komentar
Posting Komentar