Konten [Tampil]
Aku tahu hujan akan jatuh. Awan hitam berarak menuju singgasananya. Angin kencang dengan dahsyatnya meliuk-liukkan pohon setinggi rumah. Pohon mahoni yang tumbuh di depan rumah hanya bisa pasrah dengan keadaan. Hanya terdiam dihempas angin dan tak akan pernah mencoba untuk membalas. Ia terima dengan kondisi itu, bahwa ia memang ditakdirkan lebih lemah daripada angin, tentu saja angin yang kencang.
Hujan telah datang... Hujan telah datang...
Namun dua burung itu masih terbang bebas, seperti tak tahu hujan. Berkelana kesana kemari menikmati hawa yang beralih menjadi setengah sejuk setengah dingin. Mereka masih terbang bebas tanpa peduli angin kanan – angin kiri. Mereka masih menikmati semilirnya angin yang cenderung sangat dingin. Mungkin mereka akan berteduh ketika hujan datang dengan derasnya.
Heran, burung-burung itu malah mengajak kawannya. Semakin banyak dan sepertinya semakin senang berada di sana.
Wahai burung, bolehkah aku ikut denganmu? Ingin rasanya aku ikut denganmu. Bermain bersamamu. Bebas... Lepas…
Aku tersenyum melihat mereka. Burung-burung yang bisa terbang bebas tanpa beban, tanpa ada masalah yang selalu mengintai mereka. Hujan hampir datangpun, mereka masih melebarkan sayapnya untuk terbang kesana kemari.
“Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Ra?”
Aku menoleh, ternyata Kak Kara. Hanya sebuah pertanyaan yang menurutku tidak begitu penting. Aku tak mempedulikan pertanyaannya yang bagiku tak lebih dari sekedar basa-basi. Aku tetap menikmati pemandangan yang ada di depanku, yang tertahan oleh kaca rumahku.
“Ra?”
Kak Kara memanggilku lagi, pasti ingin menanyakan mengapa aku masih saja diam dan tak menjawab pertanyaannya.
Tapi aku tak peduli. Aku selalu tak acuh jika Kak Kara mendekatiku, meski ia hanya ingin menanyakan kabarku.
Bukan tanpa alasan aku bersikap seperti ini. Jujur, aku membenci Kak Kara sejak kejadian malam itu. Sebuah kisah yang meluluhlantakkan harapanku, rasaku dan masa depanku. Masalahnya, ini berkaitan dengan hati. Jika orang sudah terlanjur sakit hati, sulit untuk mendapatkan obat penawarnya. Memangnya rumah sakit mana yang menjual obat penawar sakit hati karena cinta?
Hujan turun semakin deras. Aku tak melihat burung-burung itu lagi. Kemanakah perginya? Ah, sepertinya mereka telah mendapatkan tempat untuk berteduh.
Tetesan air hujan menyentuh kacaku. Airnya mengalir cepat seiring derasnya hujan. Kusentuhkan jari-jemariku di atas kaca. Kurasakan dinginnya kaca ini. Sungguh melegakan sekali. Setidaknya aku merasa bahwa aku bisa memahami mereka dan merasakan mereka secara lebih dekat.
***
Sore ini, awan berwarna abu-abu. Rata dengan warna abu-abu. Sore masih gerimis. Ingin rasanya aku keluar ruangan dan bermain dengannya. Tersentuh olehnya, bersamanya dan menari dengannya.
Namun sayang, hari ini aku sedang tidak enak badan. Padahal aku sangat ingin bermain air di luar. Bermain bersama gerimis, bukan hujan. Menari bersama gerimis, bukan hujan. Aku suka gerimis, bukan hujan.
Ya, gerimis memberikan esensi tersendiri bagiku. Berbeda dengan hujan yang datang tanpa permisi, yang datang langsung mengeroyok tanpa tahu apakah targetnya sedang baik-baik saja atau tidak. Lebih baik gerimis, yang datang untuk mengingatkan. Mengingatkan untuk segera mengakhiri pekerjaan lalu bersiap untuk pulang.
“Ra...” panggil Mama dari balik pintu kamar.
“Ada apa, Ma? Masuk saja, pintu nggak dikunci,” jawabku. Aku tahu Mama akan mendatangiku yang sedang terbaring lemah di atas tempat tidur.
Pintu pun terbuka. Ada Mama yang berdiri di pintu kamar, kemudian berjalan menghampiriku sambil membawakan segelas teh dan brownies kukus.
Aku yang sedari tadi terbaring dan tak pernah lepas dari selimut, segera memperbaiki posisiku dengan bersandar pada bantalan yang ada pada tempat tidur. Mama pun duduk di sampingku.
“Tehnya diminum ya, Ra..” bujuk Mama sambil menyerahkan teh hangat padaku.
Aku meneguknya perlahan. Menikmati aroma teh hijau dan merasakan betapa nikmatnya teh buatan Mama.
Aku hanya menghabiskan seperempat gelas. Kemudian aku mengambil makanan ringan berupa brownies kukus. Pasti buatan Mama juga. Aku hafal aromanya.
Aku menggigit secuil brownies buatan Mama. Hmm, lezat...
Kue apapun yang dibuat oleh Mama, selalu enak. Tidak pernah tidak enak. Wajar saja jika bisnis brownies Mama selalu berjalan lancar tanpa ada halangan yang berarti.
“Oh ya, Ma,” tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. “Bagaimana butikku tadi?”
“Aman kok...” jawab Mama enteng.
“Kok aman? Mama kan bukan satpam yang aku suruh untuk menjaga butikku?” alisku naik.
“Maksudnya beres semua...” ralat Mama.
“Kok beres? Aku kan nggak menyuruh Mama untuk bersih-bersih butik?!” selorohku lagi.
Mama garuk-garuk kepala. Bingung dengan celotehanku yang hanya memutarbalikkan kata.
“Maksudnya...” ralat Mama yang kemudian langsung aku ambil alih.
“Iya Ma... aku tahu, butikku pasti baik-baik saja di tangan Mama...” sambungku sambil tersenyum.
Mama bernafas lega. Setidaknya Mama tidak lagi tercurigai olehku, meski aku hanya bermain dengan kata-kata yang sarat dengan olah kata belaka.
“Tadi, Mama menjaga butik kamu dengan dibantu Kara,” kata Mama.
Aku tersentak kaget, “Loh? Kok Kak Kara sih Ma?”
“Eh, enggak, maksud Mama, Nara, bukan Kara,” ralat Mama.
“Oo...” aku hanya membulatkan mulutku. Aku bernafas lega. Lagian sih, bikin nama anak kok hampir sama.
***
15.10 wib
Dua puluh menit lagi, kelas akan dimulai. Aku harus segera bersiap menuju tempat les. Aku tak ingin terlambat. Karena bagiku, terlambat akan merugikan diri sendiri meski tak tampak.
Aku bercermin. Melihat dandananku dan merapikan busanaku. Aku mengenakan kaos berwarna merah muda yang senada dengan rok ¾ yang bermotif bunga sakura. Kemudian aku mengambil tas selempang yang berisi beberapa perlengkapan untuk les.
Seusainya, aku segera menuju garasi dan mengambil sepeda kayuhku. Sebenarnya aku bisa menggunakan mobil untuk berangkat les, tapi aku sedang ingin mengendarai sepeda kayuh. Sepeda kayuh favoritku.
Sore ini sangat cerah. Tidak mendung seperti beberapa sore yang lalu. Aku ingin mengayuh sepedaku dengan hati gembira, tanpa takut hujan datang dan memaksaku untuk sakit lagi.
Menyusuri jalanan pinggir kota, masih saja ramai. Ini Jakarta, yang pinggiran kotanya masih sangat ramai, sekalipun malam hari.
Dengan riang gembira aku menghabiskan waktu di jalan. Memandangi apa-apa yang ada di kanan dan di kiri. Banyak orang yang berseliweran kesana kemari. Seperti aku yang juga keliweran sini-sana menuju tempat les.
Aku melirik arloji di tangan kiriku. Masih kurang sepuluh menit lagi untuk sampai di tempat tujuan. Aku pun segera mengayuh lebih cepat lagi. Aku tidak ingin terlambat.
***
Gerimis telah datang.. Gerimis telah datang..
Ini gerimis, bukan hujan. Gerimisnya masih kecil, jadi aku bisa pulang dengan sepeda kayuhku sambil menikmati gerimis.
Wahai gerimis, sentuh wajahku, belai wajahku
Wahai gerimis, rintikkanlah bagianmu untukku
Wahai gerimis, menarilah bersamaku
Sudah separuh perjalanan. Sore masih gerimis. Aku pulang ditemani gerimis. Ya, gerimis. Aku suka gerimis.
Entah mengapa, tiba-tiba terbersit di benakku untuk berhenti mengayuh. Kemudian meminggirkan sepeda di trotoar. Meninggalkannya sejenak, memberi ruang dan waktu pada diriku sendiri untuk membiarkanku menari.
Ya, menari. Aku menari di bawah rintik-rintik hujan. Untuk kali ini, aku yakin aku tidak akan sakit. Karena aku tahu, ini gerimis, bukan hujan.
Sejenak kupejamkan mata, mengambil langkah untuk berputar sambil mengembangkan tangan. Seperti mengepakkan sayap, sembari menikmati langkah kecil di atas genangan air. Aku terus berputar sambil meliukkan tangan, membuat sebuah gerakan baru, yang alami, yang tumbuh dari dasar hati sebagai ungkapan ekspresi jiwa.
Aku menikmatinya, sungguh-sungguh menikmatinya. Aku merasa bebas di sini. Bebas bergerak, bebas bereksplorasi dan bebas mengekspresikan diri.
Aku suka ini. Menari. Gerimis.
Menari di bawah gerimis.
Menari bersama gerimis.
Aku masih memejamkan mataku, masih menyentuhkan alas kaki di atas genangan air hujan sambil meliuk-liukkan tangan serta badan, tanpa tempo dan tak peduli irama. Aku sungguh-sungguh menikmatinya.
Tiba-tiba aku terdiam. Aku mendengar suara deru mobil mendekatiku, lalu berhenti. Aku pun menghentikan tarianku, lalu membuka mata.
Betapa terkejutnya aku saat kuketahui bahwa aku telah berdiri di depan sebuah mobil.
Sejenak aku berpikir, sepertinya mobil ini hendak menabrakku. Memang, pikiranku menjadi lamban ketika aku sedang asyik melakukan hobiku.
Tapi bukan salah mobil ini jika ia akan menabrakku. Aku tahu, ini murni kesalahanku. Bukan bodoh, bukan bego. Aku tahu, aku sadar bahwa aku sedang menari gila di depan kompleks perumahan. Dan wajar saja apabila pemilik mobil ini menganggapku gila.
Mungkin aku akan terlihat lebih gila lagi jika aku tidak segera menyingkir dari tempat awal ku berdiri.
Kini, aku telah menjauhi mobil sedan hitam dengan sadarku. Aku yakin, pasti pemilik mobil ini menatapku dengan sinis, seperti memandangi orang gila.
Tak berapa lama kemudian, mobil itu berlalu. Kencang. Bagai dikejar hujan.
Satu hal yang aku tangkap dari mobil tadi. Aku ingat, mobil sedan hitam mengkilap itu memiliki gambar piano pada bagian sisi belakang mobil. Sebuah piano klasik dengan beberapa not balok sebagai pemanisnya.
Sepertinya pemiliknya adalah seorang perempuan, gumamku.
Kemudian, aku kembali ke tengah jalan, memejamkan mata dan kembali menari bersama gerimis.
***
Cinta akan memberikan kita sebuah cerita. Karena cinta, kita bercerita
– Ocha Rhoshandha YKT -
Posting Komentar
Posting Komentar