Konten [Tampil]
Ehem. Ada yang dinanti pagi tadi. Iya, ketemu teman-teman kampus, hehe. Sudah lama kita nggak ketemu, sekitar satu bulan yang lalu.
Hari ini, kami dijadwalkan untuk cap tiga jari pada ijazah. Dari 28 teman sekelas, ada 14 orang yang wisuda bareng pada periode 3. Alhamdulillah tadi teman-teman hadir. Kangen rasanya. Kangen ngobrol sama mereka di kampus 😅
Memang ya, topik obrolan itu akan berubah seiring aktivitas dan keresahan yang dirasakan, tentunya seiring pula dengan berjalannya waktu. Seperti dulu, ketika masa-masa bimbingan dosen, kami duduk-duduk di gazebo taman FKIP. Sembari menunggu dosen yang tak jelas juntrungannya, kami ngobrol membahas dosen, membahas kabar terbaru tentang hasil bimbingan dari dosen, saling memberi infomasi terkait persiapan sidang dan segala lainnya. Nggak hanya itu, kami juga bergantian jaga tas, bergantian nunggu dosen, bergantian ngecas hape, dan lainnya.
Obrolan Paling Menarik
Dari sekian obrolan berdasarkan aktivitas dan keresahan yang kami rasakan dalam kurun waktu 6 bulan terakhir, ada obrolan yang menurut saya paling menarik. Saat itu, sebagian dari kami sudah selesai sidang dan sedang mengurus hal-hal remeh lainnya seperti jurnal dan daftar wisuda. Bahasan obrolan kami selalu berganti dan bagi saya obrolan yang sangat menarik, yaitu tentang: menikah.Ada seorang teman yang membuat obrolan tentang memilih pasangan hidup, menjadi menarik untuk disimak. Singkat cerita, ada teman saya yang rela putus dengan pacarnya demi seseorang yang tiba-tiba muncul di kehidupannya. Dia memilih orang baru itu karena pekerjaannya sudah jelas (pekerjaan jelas itu nggak harus PNS loh ya) dan siap menikah.
Saat itu dia sempat bilang bahwa dia lebih siap membawa sosok baru itu ke rumahnya, daripada mengajak pacarnya sendiri. Loh kenapa? "Karena aku harus bertanggungjawab memilih pendamping kepada keluarga," begitu jawabnya. Pernyataannya membuat saya berpikir lebih dalam.
"Kalau memilih pacar, ya dia memang sayang, tapi dia masih nggak jelas, dia masih kuliah, skripsi aja belum selesai," imbuhnya. Hmmm, jika saya berada di posisi teman saya, mungkin saya akan melakukan hal yang sama.
Dia bercerita tentang proses kegalauannya, rasa syoknya, keputusannya, keikhlasannya, dan segala hal yang membuat kami tak sanggup mendengarnya. Nggak hanya dia yang menangis karena pilihannya, kami yang mendengarkan ceritanya juga berebutan tisu, membayang-bayangkan apa yang kami lakukan bila hal itu terjadi kepada kami 😕
Ada lagi cerita seorang teman, yang dia punya pacar, tetapi orang tuanya nggak setuju. Mamanya nggak setuju karena hal sepele, kurang ganteng 😅 Tapi jika ditelisik lebih dalam, ternyata mamanya sudah menyiapkan calon untuk anaknya.
Calonnya adalah seorang polisi, yang ternyata pernah menjadi mantan pacarnya ketika dia sekolah. Tapi teman saya ini sudah nggak suka dengan mantannya yang pilihan Mamanya itu. Sebabnya jelas, mantannya itu menyelingkuhinya. Perbuatan "selingkuh" itu ada kemungkinan terulang lagi, begitu pikirnya. Dia nggak akan mau lagi terjebak di kesalahan yang sama.
Sosok yang dipilihnya saat ini, saya pikir juga sudah jelas. Meskipun belum genap bekerja satu tahun, tapi dia sudah mampu menjabarkan hal-hal yang akan dipertanggungjawabkan kepada teman saya dan keluarganya. Perihal kapan melamarnya, kapan menikahinya, serta akan tinggal dimana selanjutnya. Kira-kira seperti itu.
Dari cerita kedua teman saya itu, saya menarik garis benang yang sama, bahwa kami, perempuanpun juga harus mempertanggungjawabkan pilihan dan keputusan kami. Memilih pendamping hidup untuk selamanya itu bukan perkara yang sepele, melainkan hal penting yang harus dipikirkan secara matang.
Obrolan Calon Sarjana
Sebenarnya pertanyaan "kapan sidang" itu bukan pertanyaan yang menyeramkan. Justru pertanyaan yang menyeramkan bagi mahasiswa adalah "setelah ini kamu mau kerja dimana?". Benar kan?Setelah mendapatkan Surat Keterangan Lulus, teman-teman berburu pekerjaan. Mereka melamar-lamar pekerjaan. Mereka juga bela-belain untuk hadir ke job fair di kota manapun untuk mencari pekerjaan yang pas.
Teman-teman yang namanya akan tersematkan gelar S.Pd alias sarjana pendidikan, tentulah orang mengenalnya sebagai calon guru. Tapi faktanya... sebagian dari teman-teman saya nggak mau tuh jadi guru, hahaha. Iyaaa, karena mereka sudah tahu ruwetnya bikin RPP, silabus, dan sebagainya.
Teman-teman pengennya kerja, tapi nggak mau jadi guru. Maunya di perusahaan, begitulah maksudnya. Tapi mereka sudah menolak mentah-mentah bekerja di bagian marketing. Lah, dimanakah ada pekerjaan yang kitanya bisa langsung menjadi manager sebuah perusahaan? Ya berproses memang harus dimulai dari bawah dulu dooong...
Ada nih, cerita yang menariktentang pekerjaan sementaranya teman-teman. Bukan rahasia lagi kalau anak FKIP, biasanya magang jadi tentor di LBB. Saat itu, ada teman saya yang masih belum dapat pekerjaan tetap, hanya jadi tentor di LBB dan jadwalnya cuma 4 jam seminggu. Ya jadilah gajinya terbilang masih kecil, yaitu 200ribu. Kemudian duitnya langsung habis gegara dibelikan gincu. Yo modyar lah dunia persilatan 😅
Ada lagi, pekerjaan seorang teman yang saaaangat menarik bagi saya. Dia buka bimbingan belajar sendiri. Wow. Ya meskipun untuk anak SD dan hanya berawal dari les privat, tapi bagi saya itu sesuatu hal yang kece. Kini, dia punya 9 anak yang belajar di bawah bimbingannya. Keren 😎
Saya juga ditodong pertanyaan oleh teman-teman, "Kak Ros kerja dimana?"
Hmm... di kosan aja sih. Ngeblog 😅
Duh lah, nggak berfaedah banget jawabannya.
Tetapi lebih jauh daripada itu, saya sedang menikmati hal-hal yang saya kerjakan, tentunya juga menghasilkan duit. Ngeblog itu bukan sekedar sponsor post, content placement, review product, dsb. Melainkan keterampilan kita untuk menjadi seorang content writer. Kalau pengen dapat duit gede dari ngeblog yaa... ikutan lomba blog lalu memenangkannya.
Job ngeblog itu juga melebar dan meluber ke media sosial. Maka jangan heran di instagram saya banyak sponsornya. Tapi sejauh ini sponsornya masih hard selling, hehe. Inshaa Allah bertahap akan soft selling.
Sebenarnya... bagi saya... rezeki itu nggak hanya berwujud uang saja, melainkan hal-hal lain yang lebih berharga. Misalnya keluarga yang adem ayem, proses yang mudah ketika mengurus sesuatu, barang yang nggak rusakpun juga sudah menjadi rezeki bagi saya. Bahagia itu... disederhanakan saja: bersyukur.
Dilamar tanpa melamar pekerjaan saja saya sudah bersyukur, meski harus menolaknya. Iya, sekitar sebulan lalu saya dilamar oleh sebuah NGO (Non Government Organization). Mereka sudah tahu kinerja saya. Saat menjadi mahasiswa, saya sering membantunya, menjadi relawan pengajar dan terlibat untuk menyelenggarakan sebuah festival.
Sejujurnya saya suka dengan NGO tersebut. Saya senang ketika berbagi ilmu dengan anak-anak di kebun belajar. Saya senang dengan suasananya yang asri tentram damai. Saya juga senang saat makan makanan sehat tanpa MSG yang disajikannya. Saya suka, suka semuanya, hanya saja... saya nggak cocok perihal timelinenya.
Kala itu saya ditelpon oleh direktur NGO tersebut, beliau meminta waktu saya untuk ngobrol dengannya. Beliau menawarkan sebuah posisi yang sangat menarik bagi saya. Saya kira ditawari menjadi sekretaris, seperti yang dulu pernah mereka bilang saat saya belum selesai skripsi. Eh ternyata yang ditawarkan ini menarik sekali. Namun sebelum mengiyakan, saya memastikan dulu perihal jadwal kerjanya.
Secara jelas, saya meminta kerja pada weekday saja, karena weekend adalah family time. Juga sebenarnya sampai akhir tahun 2016, saya sudah memiliki agenda tersendiri yang jelas nggak akan mau saya ganggu gugat.
Direktur NGO tersebut, menjawab pertanyaan saya secara tersirat, "Hmm.. sebenarnya... ketika kita terjun ke masyarakat, terutama kepada pemberdayaan masyarakat, kita harus total dalam melayani masyarakat". Nah, kata "total" itu yang saya garisbawahi, menunjukkan bahwa saya harus stay di sana setiap hari.
Sebenarnya saya menanti omongan beliau yang... kira-kira begini: nanti kalau Rhosha ada kegiatan penting di luar, boleh kok ijin sebentar, sehari atau dua hari. Tapi saya nggak mendapatkan omongan itu, perihal toleransi terkait waktu.
Ya memang sih, saya nggak meminta toleransi waktu, hehehe. Saya hanya menyampaikan melalui batin, bukan mulut, makanya saya nggak mendapat omongan yang saya harapkan itu.
Ehtapi, kalau saya menanyakan pertanyaan "bolehkah suatu hari saya ijin keluar untuk menghadiri kegiatan lain di luar NGO?" Wuah jelas, belum apa-apa saya akan dicap tukang ijin, bahkan tukang bolos. Saya rasa, itu adalah alasan kuat mengapa saya tidak menanyakan pertanyaan itu. Iya, untuk menjaga kredibilitas saya.
Oleh beliau, saya diminta untuk memikirkan matang-matang perihal tawaran eksklusif yang hanya diberikan kepada orang-orang terpilih. Namun orang terpilih juga bebas menentukan pilihannya, bukan? Akhirnya, saya memilih untuk menolak tawaran itu, namun akan tetap bersedia menjadi relawan di NGO tersebut.
Tawaran eksklusif macam itu, nggak akan saya dapatkan dari kampus, melainkan dari luar kampus. Hal ini merupakan dampak dari keaktifan saya yang bergerak dan berkontribusi di masyarakat. Alhamdulillah, dampaknya langsung terasa.
Kalau tawaran pekerjaan yang terkait dengan bidang keilmuan saya, tentulah ada. Banyak banget tawaran kerja berupa ngajar di sekolah, LBB, dan sebagainya. Namun tak satupun yang membuat saya tertarik, untuk sementara ini.
Pun dengan tawaran personal yang dilayangkan langsung kepada saya, untuk membimbing olimpiade Fisika tingkat SMP di Bondowoso. Jelas, nggak saya ambil. Lahwong saya domisili Lumajang-Jember. Pun upah bimbingan olimpiade belum tentu akan bisa menutupi uang bensin Jember-Bondowoso. Belum lelahnya, duh laaaah.
Saya mah nggak idealis. Saya nggak bisa, datang ngajar olimpiade di kota sebelah, rela dibayar minim, asal punya jaringan orang dalam (misal: bisa ngajar di sekolah tersebut suatu hari). Lah, masih ada kok pekerjaan yang bayarannya cukup gede dan dapat jaringan orang dalam atau relasi, yang tentunya nggak bikin capek perjalanan.
Eh maaf, maaf, saya ngomong kayak gini itu serupa sombong ya. Tapi ya gimana, pemikiran tentang pilihan itu harus dicatat, karena di dalamnya ada keresahan yang membuat kita belajar.
Untuk saat ini, saya masih menekuni hobi saya, kegiatan saya, dan berjuang untuk melunasi target-target saya yang baru. Ihiiiir 💃💃💃
Persiapan Wisuda
Kalau pagi tadi, jelaslah yang dibahas adalah segala hal terkait wisuda. Seperti:"Ey, kebayamu gimana?"
"Duuuh kebayaku kekurangan kain... "
"Duuuh masa' keluargaku pake baju warnanya beda-beda. Kan kalau warnanya seragam bisa jadi bagus"
"Kamu make up dimana?"
"Duh aku harus berangkat jam 1 dini hari buat ke tukang make up. Antriannya ada 19"
"Eh tarif make up mu berapa? Kok murah? Dimana? Bagus? Kasih tau instagramnya doong"
"Duh, aku belum booking tempat foto wisuda"
"Mau foto di dig, udah penuuuh. Full booked."
"Aku fotonya hari Minggu aja, soalnya studio foto udah pada penuh. Nggak papa kalo harus make up lagi. Make up sendiri aja"
"Eh katanya ada yang mau bawa fotografer ya? Jadi nggak sih?"
.... dan segala pertanyaan, curhatan, dan omongan para perempuan yang sueru tentang persiapan wisuda dan nggak bakalan habis untuk diperbincangkan.
Lalu tiba-tiba teman-teman menembak saya dengan sebuah pertanyaan, "Kak Ros nanti foto wisudanya gimana?"
"Eee... kayaknya aku fotonya numpang aja deh 😅 Dimana aja bisa kok... Paling di rektorat.."
Iya, bagi saya, wisuda adalah hal yang biasa. Saya tidak mempersiapkan banyak hal untuk prosesi penyematan gelar pada nama belakang. Cukup disederhanakan sajalah.
Saya berkata demikian tentu berdasar latar belakang. Iya, sejak SD saya sudah merasakan wisuda 😅. Saat itu, SD saya adalah sekolah yang pertama kali mengadakan wisuda tingkat SD di Lumajang. Omongan miring tentulah ada. Mereka yang bilang, "Ini apa anak kecil sok-sokan wisuda kayak anak kuliahan". Ya kita mah go ahead.
SMP dan SMA, saya juga wisuda. Ibu dan Ayah datang bergantian. Siapapun yang bisa deh, silahkan datang menemani saya. Jadi, bagi saya wisuda adalah momen biasa saja, karena saya sudah merasakannya sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Tentu hal ini berbeda dengan teman-teman yang antusias dengan wisuda. Sekeluarga pake baju dengan nada yang sama. Booking studio foto atau fotografer untuk foto bareng keluarga dan teman dekat. Mengajak rombongan sanak saudara untuk datang ke wisuda meskipun hanya leyeh-leyeh di taman.
Iya, mereka berbeda dengan saya. Bagi mereka, wisuda adalah sebuah pencapaian. Sedangkan bagi saya, wisuda bukanlah target, makanya dulu saya sempat molor ngurusin wisuda 😅. Kalian tahu kan target saya apa? Kalau belum tahu, baca aja di sini: Menghadiahi Diri Sendiri.
Sama halnya dengan pernikahan, disederhanakan saja.
Ibu bilang, "nanti nikah nggak usah resepsi deh yaaa"... Ya boleh deeeh, saya nggak masalah kok kalau nggak pakai resepsi. Justru saya ber-Alhamdulillah, karena saya nggak akan ribet-ribet pakai baju manten yang ribet dan harus ganti berkali-kali. Belum dandannya yang lamaaaa banget. Belum mahkota atau hiasan kepala yang bikin berat. Duh, ampun deh.
Belum juga gedungnya. Eman-eman duitnya. Mending duitnya buat keperluan rumah tangga dan persiapan buat masa depan, ya kan?
Cukup bagi saya: akad nikah. Sudah. Selesai.
Ibu menambahkan, setelah akad rencananya tamu undangan disuguhi makanan enak-enak, tentunya prasmanan. Puas-puasin deh makannya. Nggak pakai syarat harus salaman dulu sama manten di atas panggung. Nggak usah deh. Pegel juga kakinya.
Cukuplah, saudara, kerabat, dan teman-teman datang kepada kami, ngobrol sambil duduk santai, sambil mereka menikmati makanan, sambil mereka mendengarkan cerita bagaimana kami, pertemuan kami, kisah kami, dan seterusnya. Jadinya suasana lebih akrab, lebih harmonis, dan lebih berjiwa. Tentunya, orang-orang akan lebih mengenal kami.
Eh eh, ini "kami" siapa????
Kesimpulan
Ya begitulah catatan dan uneg-uneg saya beberapa pekan terakhir ini. Bahasannya sederhana sih, tapi selalu menarik untuk dibahas dan dipikirkan lebih dalam. Semuanya adalah tentang pilihan. Juga, takdir tentunya.
Terima kasih sudah membaca sampai akhir.
Wassalammualaikum wr wb.
Hmm.. Dunia setelah wisuda itu adalah dunia yang penuh dengan ketidakpastian...
BalasHapusJadi rindu masa kuliah lagi..
Duuh...sama.
BalasHapusIni pemikiran saat baru wisuda.
Cita-cita : Ingin menjadi istri dan Ibu.
Alhamdulillah ijabah.
Dan saya tentu kadang merasa jenuh dengan rutinitas ini. Tapi diingat-ingat lagi...tugas besar saya sekarang adalah mengantar amanah-amanah Allah ini menemukan fitrah hidupnya.
Semoga Allah ijabah doa saya kali ini.
Aamiin.
((sekarang jadi aku yang curhat, Roos😅..maafkan))
Wah asyik banget dapat tawaran dari NGO biasanya gajinya gede tuh, lumayan buat nabung modal nikah or modal kerja. Memang weekend hari keluarga, tapi bisa kok di tempat kerja serasa dirumah dengan menjadikan rekan2 kerja sebagai keluarga. Ngomong berdasarkan pengalaman kerja di NGO dulu dan masih kangen kerja di NGO karena gajinya gede
BalasHapuskadang pilihan yang dilihat orang bagus tapi ternyata bertentangan dgn kata hati kita
BalasHapusketika kita tolak banyak yg ngomel
dikira sombong dan sok
ya..memang untuk kerja mmg harus sesuai passion
setidaknya saya sih begitu
yg membuat sy nyaman itu yg utama
Ya Allah.. seneng baca curhatan ini. Pemikiran kak Rhos udah dewasa ya. Semoga pilihan-pilihan selanjutnya dalam hidup kak Rhos akan membawa pada kehidupan yang membahagiakan.
BalasHapusSelamat menyambut hari esok, selamat bersiap-siap terjun seutuhnya dalam masyarakat. Good luck ya, Kak Rhos :)
jaman aku mau wisuda justru pembicaraan nikah dan pasangan hidup justru nggak ada, pada sibuk mikir mau kerja apa. trus karena waktu itu aku udah kerja, yang aku pikirin justru gimana supaya deadline kerjaan selesai secepatnya supaya selesai wisuda aku bisa 'menghadiahi diri sendiri' liburan... yeiiiiy... dan alhamdulillah terlaksana.
BalasHapuseh itu aku ngakak baca yang gajinya abis buat beli gincu wkkwkwkw
asyekkk. Selamat ya yang wisuda. Sukses slalu yaaa. Tapi persiapkan akan banyak pertanyaan baru setelah wisuda hehe
BalasHapusWaah...curhatnya Kak Ros panjaang..hihihi
BalasHapusDari mulai pacarnya temen, soal kelulusan, wisudaan, kerjaan sampai rencana pernikahan... kompliit deh.
Ya..dari semua itu, memang seluruhnya tergantung pilihan sendiri. Mau bagaimana pun itu masa depan kita, bukan?
Selamat atas kelulusannya 😊
BalasHapusSemoga jalan yang dipilih diberkahi Sang Pemilik Segala ya 😊
Teman yang mutusin pacarnya itu terus membawa "orang lain" ke keluarga apa memang kebelet nikah? Maksudku apa memang setelah wisuda langsung mau nikah gitu? Apa aku yang salah nanggap ya 😅
Aku dulu waktu wisuda enggak sempet mikir printilannya. Kadung semrawut ngasuh si K. Selesai skripsi dg nilai cumlaude aja udah syukur. Hahahahaha
BalasHapusNikahan aku juga cuma aqad trus syukuran dg ngundang temen deket, saudara dan tetanga, udah. Tapi tetep dandan, demi poto kenangan. 😀
Masa-masa sebelum lulus emang masa yang banyak bikin mikir menurut saya. Masa setelah wisuda adalah kehidupan sebenarnya. Menanggung tanggung jawab sendiri
BalasHapusAlhamdulillah, selamat ya. Dan semoga berhasil dan bisa terus berkarya di dunia nyata ini. Perihal pendamping wisuda kemaren sempet baca di salah satu forum kalau pendamping wisudah seharusnya adalah ibu dan bapak karena mereka akan memiliki rasa bangga atas jerih payah selama ini.
BalasHapusKeinget zaman dulu jg suka jd relawan NGO gtu. Jd tau lingkungan dunia kerja yg sbnrnya kyk apa kurang lbh dr sana.
BalasHapusBTW yg soal akad atau resepsinikah itu kdng tu ortu yg pengen, trus sbg anak suka serba salah, utk nyenengin ortu aja gtu hehe
Semoga sukses dan berkah ilmunya ya mbak :D