Konten [Tampil]
Hari ini masih edisi Kang Zachflazz yang super duper keren.
Dikarenakan saya sangat rindu membaca tulisannya, akhirnya saya nekat ubek-ubek mencari serpihan-serpihan Kang Zach via google hingga akhirnya menemukan prasasti berharga.
Membaca tulisan Kang Zach di www.masjidalamanah.com mampu mengobati rasa rindu saya tentang Kang Zach, Arien, Agree, Bu Zach dan tulisan-tulisannya. Semuanya terangkum jadi satu. Berikut, saya copas tulisan Kang Zach dari blog kece yang nampung serpihan tulisan Kang Zach.
---
Sebuah Romansa
– Selasa, 15 November 2011
Sabtu malam, 12 Desember 2009. Keringat dingin tampak mengucur dari
dahinya meski berada dalam ruangan dingin di barisan depan tempat duduk
bioskop itu. Matanya tak henti tertuju pada screen lebar yang
ada di depan. Pucat dengan raut muka yang tegang. Nafasnya memburu
seperti saat mengejar layang-layang putus yang biasa dilakukan bersama
teman-temannya di Cilebut.
“Agree takut?”,tanyaku sambil mengusap kepalanya.
Anak itu menggeleng cepat. Tanpa menolehku, pandangannya kaku ke depan. Tangannya mencengkeram ujung tempat duduk. Saat John Cusack dan Amanda Peet beradu lari dengan badai magma dalam salah satu scene
di film, sesuatu seperti membadai pula di kepala anak itu. Dia
Agreeardi anakku, akrab dipanggil Agree, dan usianya baru lima setengah
tahun. Film yang ditontonnya menceritakan fiksi bencana yang terjadi di
tahun 2012.
——————————
Minggu pagi, 13 Desember 2009. Cuaca tak begitu cerah, berangin meski
tak terlalu kencang, dan mendung menggelayut di pipi langit. Kuurungkan
niat untuk bermain tepak bulu di lapangan kampung. Kulihat Agree yang
sedari tadi sudah bangun dari tidur, duduk termenung di sisi kolam.
Bayangan wajahnya di permukaan air penuh ikan koi yang menari-nari,
bergoyang karena kecipak-kecipik kakinya. Sejurus kemudian dia menengadah ke arahku.
“Pak, emang tahun 2012 bumi bakalan kiamat ya?”, tanyanya sambil membenarkan posisi duduknya. Tangannya memainkan pick gitar bertuliskan Ibanez yang tadi dibawanya dari kamar.
“Tidak, itu hanya film”, jawabku ringan.
“Kiamat itu kayak di film itu kan, Pak?”
“Kiamat pasti ada.Tapi nggak seperti di film. Tadi itu cuma film tentang bencana alam”.
“Berarti kiamat malah lebih besar kan?” Tahi lalat di atas bibirnya memang pas benar sebagai simbol ceriwisnya. Itu perbedaan mencolok antara dia dan ibunya. Wajah dan perawakan mereka satu type, wataknya pun tak jauh berbeda. Hanya lalat iseng yang nemplokin tahi di atas bibir anak ini saja yang membuat berbeda. Istriku pendiam dan tidak rame seperti anakku ini.
Aku bergeming. Kutatap mata bening bocah yang giginya masih banyak ompongnya itu.
“Kiamat masih akan sangat lama, hanya Allah yang tahu. Kita sebagai
orang beriman harus percaya kiamat pasti akan ada, datangnya nanti kalau
orang-orang di dunia ini sudah nggak pada shalat”. Aku memberi ilustrasi tentang shalat kepada anakku, seolah-olah shalatku sudah beres dan berkualitas. Aku mengkritik diriku sendiri soal ini, sebagai kelemahan mendasar yang melegenda dalam diriku.
——————————
Senin pagi, 14 Desember 2009. Kubuka paksa kedua kelopak mata yang terkatup seperti dilekati lem ban sepeda, saat kurasakan benda basah menyentuh kakiku.
“Pak bangun! Shalat shubuh yuk!”. Ahh, rupanya ada tangan kecil yang mengguncang kakiku. Kutoleh bayangan tubuh kecil yang masih lamat-lamat di mataku.
“Agree udah wudhu, azannya baru aja selesai”, ujarnya. Padahal matanya juga kiyip-kiyip, tidak kalah parahnya denganku.
“Kita ke mesjid?” tanyaku malas. Aku berharap dia menjawab tidak.
“Iya”, jawabnya.Ya ampun, maha karya terberat dari sekalian pekerjaan berat buatku, adalah shalat shubuh di mesjid. Mana yang ngajakin manusia setengah bayi, lagi. Sudah gitu,
dingin, jalanan gelap, dan pernah aku melihat ular di depan rumah Bang
Muis yang ada di sisi masjid. Yang pasti reputasiku soal shalat shubuh
memang masih mengecewakan, meskipun aku melaksanakan shalat lima waktu,
bahkan sudah sejak usia sepuluh tahun. Bapak ibuku tanpa ampun menggebuk anaknya yang lupa shalat. Tapi untuk urusan shalat jamaah di masjid, apalagi shubuh, aku menyerah. Masih mending disuruh mencangkul lapangan bola sekaligus menanami rumputnya satu lapangan penuh.
“Tapi Agree digendong ya Pak, Agree masih ngantuk”. Nah, masih ada permintaan lagi kan.
“Iya”, kataku sambil tergopoh menuju padasan. Ini yang
kusyukuri dari diriku, masih waras. Meski berat bagiku, mengesalkan
buatku, tapi aku bisa berposisi obyektif. ini tetap kuanggap sebagai
momentum baik untuk anakku. Tentang bocah kecil yang belum dikenai
kewajiban shalat, tapi sudah berkeinginan kuat untuk mengerjakannya.
Kuraih dan kugendong badan kurusnya, berjalan menuju masjid. Kulirik,
matanya terpejam. Walau berat kurasa, ada semilir sejuk menerpa lembut
di relung batinku. Sepertinya malaikat sengaja meniupkan desah sucinya
untuk kami berdua pagi itu.
——————————
Shubuh pagi itu adalah awal perjalanan ibadah yang mengesankan buat
anakku. Hari itu shalat lima waktu dijalaninya untuk kali yang pertama.
Sementara aku sendiri, sangat ruwet dan berasa kepuntal-puntal mengimbanginya. Mosok aku
kalah sama anakku. Makanya mulai sekarang, saat dia shalat di masjid,
kapanpun, aku pasti mendampinginya. Sekedar itu, dan memang hanya itu
sikap mental yang aku punya. Belum sampai pada penghayatan mendalam yang
mungkin telah dialami anakku.
——————————
Sebulan berlalu. Agree makin menunjukkan dirinya
sebagai anak yang shalih. Shalatnya selalu lengkap lima waktu dan selalu
dilakukannya di masjid. Hujan, petir, udara dingin, cuaca panas ataupun
angin kencang, tak menghambat langkahnya untuk berjalan ke masjid.
Buatku, ritual menggendong bocah ngantuk di
batas fajar terus saja berjalan. Aku sering berseloroh, ini dia saatnya
menandu Panglima Sudirman di medan Perang Kemerdekaan. Seperti Pak
Dirman, meski prajuritnya berguguran dan kesehatannya rentan, perjuangan
tetap ditegakkan. Saat aku tak berada di rumah, juga dalam keadaan
demam tinggi sekalipun, Agree tetap saja ke mesjid menunaikan shalatnya.
——————————
Satu hal yang sungguh membuatku tak habis pikir, sebulan ini,
keajaiban terjadi atas diri Agree. Ada sesuatu yang unik berdinamika
dalam dirinya. Mendadak dia menjadi bisa melukis. Padahal untuk urusan
ini, sebelumnya dia tidak pernah suka, bahkan cenderung membencinya.
“Buat apa dikasih warna, orang sudah bagus gambarnya, bikin repot aja”,
begitu komentarnya setiap kali ditugasi gurunya untuk mewarnai gambar.
Dan kini, Agree tidak hanya bisa mewarnai, tapi bisa melukis, Tidak
hanya menjadi bisa, tapi menjadi senang dan terampil. Di lomba
pertamanya yang tingkat TK se-Cilebut, piala juara I direbutnya.
Guru-gurunya di TK pun dibuatnya heran. Hingga dua bulan berselang, dua
piala juara I tingkat Kabupaten dan satu piala Juara III Piala Walikota
Bogor diraihnya dalam kejuaraan resmi, selain sembilan piala lain yang
mengatasnamakan pribadi. Uang yang didapatnya dari hadiah lomba dia
belikan sepeda sebagai kebanggaan untuknya.
“Koq Agree bisa pinter begitu sekarang?”, kusampaikan sebuah pertanyaan, senada dengan pertanyaan yang diajukan gurunya kepadanya.
Dia hanya polos menjawab, “Kan Agree rajin shalat, Allah pasti ngasih buat orang yang taat”.
Jawaban dari mulut mungil itu tak hanya terasa menyentak dadaku.
Terlalu dalam kurasakan, dan sangat-sangat terbaik dari sekian juta
pesan filosofis yang pernah kudengar. Dari mulut seseorang yang belum
lama rasanya menjadi bayiku. Aku menunduk untuk ungkapannya, juga untuk
kuasa-Nya. Ungkapannya yang tidak mengada-ada, serta kuasa-Nya yang
terbukti mampu mengubah apapun dalam hitungan seketika. Malu diri, saat
shalatku masih acak-acakan, anakku sudah mendapatkan makna yang mendalam
dari shalatnya. Dia melepaskan diri dari polemik dan kontroversi di
luar sana tentang film 2012, dengan mengambil hikmah atas ijin-Nya.
Allah seperti ada bersamanya.
——————————
Dan ternyata tidak hanya shalat wajib yang dijalaninya. Dia selalu
berangkat ke masjid jauh sebelum adzan. Shalat sunnah, entah shalat
sunnah apa – aku sendiri belum nyambung – dia jalani prosesinya dengan suka cita. Sedangkan aku? Boro-boro
shalat sunnah, teorinya saja aku tak begitu paham. Shalat lima waktu
saja sudah bagus buatku. Namun tanpa terasa, pelan-pelan aku mulai
sedikit terpola dengan ibadah Agree. Meski belum sepenuhnya ikhlas. Aku
mulai berguru kepadanya.
——————————
Senin malam, 15 Maret 2010. Aku baru saja sampai di rumah saat kudapati tubuh Agree yang lemah berbaring di kasur bergambar Jurasic Park-nya.
Istriku memberitahu bahwa Agree dipukul temannya hingga dadanya lebam.
Kuhela nafas agak panjang dan seperti biasa, selalu berusaha untuk
tenang.
“Hai, assalamu’alaikum, anak bapak”.Dia tersenyum menjawab salamku. Ini yang aku suka dari anak itu, tidak cengeng.
“Kenapa, berkelahi sama si Jaja ya?”.
“Nggak Pak, Agree dipukul. Padahal Agree nggak ngapa-ngapain”. Suaranya seperti menahan sakit.
“Bukannya Jaja sudah kelas tiga, masa mukulin anak TK sih. Nggak seimbang dong, Boy!”. Sontoloyo juga nih si Jaja, pake acara mukul-mukul segala, lha wong biasanya saja nggak pernah. Belum tahu apa, kalau dulu bapak si Agree ini lebih jagoan dari dia. Belum apa-apanya, loe!
“Iya, tadi pas Agree ke masjid mau shalat Ashar, tau-tau Agree dicegat, terus dipukul. Agree nggak berani. Kan dia udah gede”. Meski agak pilu, aku bangga mendengar kata-katanya. Setidaknya jika lawannya sepantaran, pasti dia berani melawan.
“Ah Agree, kenapa tidak…” Astaghfirullah. Hampir saja aku keceplosan menganjurkan
dia berjibaku untuk membalas saja pukulan itu. Tapi tidak, Nak. Tidak
akan pernah kuajarkan itu. Aku memang telah berubah sejak menikah dengan
Chio, istriku. Coba kalau saranku ini aku sampaikan sebelum
menikah, pasti kusuruh dia duel. Atau kalau lawannya lebih besar, lempar
batu saja dari belakang sampai kepalanya benjol. Hebat sekali
istriku, bisa menjinakanku dengan doktrin kasih sayang yang berhasil
mengubahku ratusan derajat. Hingga generasiku kini tak lagi kudidik
seperti masa kecilku dulu. Meski kadang teorema welas asih ini masih menjengkelkanku sebenarnya.
“Agree nggak benci sama Jaja kan?” Aku bertanya dengan nada bijak, meski hati kemropok. “Agree tahu dia senengnya apa?”
“Agree nggak benci Jaja, Pak. Kan kita nggak boleh dendam-dendaman. Dia sukanya mainan transformer, sering mainin Optimus Prime–nya Agree, tapi ayahnya nggak bisa beliin. Kasihan jadinya”. Benar bukan, meski sudah dipukulin, masih bisa dia jatuh iba kepada musuhnya. Aku jadi teringat cerita di hadits tentang riwayat Nabi Muhammad yang setipikal cerita ini. Hebat, hampir sama!
“Seandainya nih, Optimus Prime yang Agree punya, dikasihin ke Jaja, boleh?” Agree seperti menangkap modus usulan gencatan senjata yang aku tawarkan.
Agree melirik ke samping tempat tidurnya. Meja belajar tempat para
robot jagoannya bermarkas. Robot Voltus-5 yang kubeli saat kelas empat
SD dulu juga nyelip di antara robot-robot Agree. Badannya yang
ringan beringsut melangkah ke meja belajar, sambil memegangi dadanya.
Diambilnya robot merah biru yang bisa dibentuk menjadi sebuah truk itu,
yang kubeli saat dia ulang tahun ke-lima. Agree mengangguk. “Boleh, Pak,
Agree elap dulu biar bersih ya, besok ngasihnya pagi-pagi aja”
jawabnya lemah dengan tersenyum. Aku termangu. Bersih benar hatinya. Ya
Allah, dia baik sekali, lindungilah anak ini, dia yang membuatku
terinspirasi untuk selalu menjernihkan hati dan mengendalikan segenap
keliaran sisa masa laluku.
——————————
Kamis siang, 18 Maret 2010. Aku pulang lebih cepat dari biasanya,
abaikan absensi dengan konsekuensi potong tunjangan. Satu jam lalu,
istriku menelfon memintaku segera pulang. Berdebar saat kusibak
kerumunan orang di depan rumahku. Beberapa orang memberitahuku, Agree kecebur di septic tank tetanggaku. Aku menyeruak, “Agree gimana, dia selamat kan?”
“Alhamdulillah Pak, itu sedang diurut Mpok Mimin”, Pak Juki
Ketua RT 01 menyongsong kedatanganku. Biasanya istriku paling tidak suka
membiarkan anaknya dijamah tukang urut. Pasti dia sedang tidak fokus
hari ini. Kucegat istriku, sedang memeluk tubuh Agree yang terlihat lunglai.
Pertama kulihat anakku, melek, aku lantas bersyukur. Alhamdulillah, anakku selamat.
“Dijorogin sama si Ilham!”, Istriku membuka pembicaraan. “Untung ada Bang Badu lewat, kalau nggak, nggak tau nasibnya”. Subhanallah, demi mendengar itu, pertama yang kulakukan adalah bersujud, bersyukur. Alhamdulillah, anakku selamat. Allah benar-benar nyata melindunginya. Allah ada di dekatnya.
——————————
Sabtu malam, 20 Maret 2010. Aku kompres bibir Agree yang berdarah.
Lagi-lagi dipukuli temannya sore tadi menjelang shalat Maghrib. Tak habis pikir, setan koq gencar sekali menyerang anakku dengan berbagai caranya. Para iblis terkutuk di mayapada ini seperti tidak rela anakku menjadi anak yang shalih. Bosan aku mendengar kisah sedih anakku ini. Jika kurunut, frekuensi bentrok
dengan temannya lebih banyak setelah dia mulai menunaikan shalat lima
waktu. Ya Allah, anak sekecil ini sudah Kau uji dengan cara kekerasan
seperti ini. Kali ini dia berkelahi dengan temannya, Ridho.
“Tadi Agree dibilang norak, katanya anak bodoh aja punya piala. Pasti pialanya beli di pasar katanya”.
Aku tersenyum, “Bukannya emang beli di pasar, hai Prajurit Pasar!”
Agree mencubitku. ”Bapak tu hulubalangnya!” Tawa kami berderai mencairkan bekunya keadaan.
“Terus Agree marah dan mukul duluan?”
“Nggak, Ridho yang mukul duluan. Agree kan nggak pernah ngeduluin Pak”.
“Bagus, besok kita ajak dia belajar melukis bersama. Kita minta Mbak Arien mengajari, OK? Nanti pasti dia akan ngerasain, bahwa melukis itu baik dan ternyata susah untuk mendapatkan piala”.
Ahh, saat aku sekecil dia, pasti anak yang memukuliku sudah kubalas dengan culas. Kalau perlu aku main keroyok. Tapi sekarang berbeda, aku mendidiknya dengan framework kasih
sayang. Dia harus tetap berani berhadapan kembali dengan lawannya, tapi
dengan visi yang berbeda. Kubayangkan saat kemarin dia harus ke rumah
Jaja untuk menyerahkan robot mainannya, pasti memerlukan jiwa besar dan
keberanian. Bukan keberanian untuk menuntut balas, melainkan keberanian
untuk mengajak berdamai. Tidak hanya itu, mainannya itu adalah mainan
kesayangannya. Tapi dia bisa ikhlas untuk menyerahkan barang yang
disayanginya, demi sebuah misi damai yang sarat kasih sayang. Misi yang
lugas namun menawan yang kudapat dari falsafah istriku. Subhanallah.
——————————
Tiga hari kemudian, dari ibunya kudengar bahwa setelah Agree
menghadiahi krayon untuk si Ridho, teman-temannya yang lain bergiliran
menjahili Agree demi mendapat kesempatan yang sama, dikasih hadiah oleh orang yang dipukuli. Masya Allah. Memang semprul koq begundal-begundal kecil itu.
Tobat! Padahal shadaqah-ku untuk mereka-mereka ini lebih dari cukup rasanya. Ahh,
tapi tak perlu kuungkit, ini hanyalah ujian kecil untuk anakku. Mirip
ujian untuk orang-orang besar yang kubaca biografinya. Dan, selanjutnya
hampir tak berhenti kudengar Agree dijahili teman-temannya. Mulutnya
yang jontor, dan kepalanya yang benjol, membuatku ingin segera campur
tangan. Tapi belum saatnya, dan kupikir tidak bijak jika aku mencampuri
urusan anak-anak.
——————————
“Pak, Agree takut ke masjid, tiap hari pasti dihadang, terus dipukulin”. Aku trenyuh mendengar
keluhannya kali ini. Selama ini dia jarang sekali mengeluh, kecuali
memang sudah tidak kuat lagi dia rasakan. Dan dia rupanya ada di titik
itu sekarang. Aku tak rela antiklimaks terjadi pada anakku. Meski aku
belum begitu bisa mengikuti semangat beribadahnya, tapi aku tak rela
semangatnya yang menggebu menuju nurul imani rontok hanya oleh gangguan seperti itu.
“Nanti Bapak temani ke masjid”.
“Tapi kan kalau siang Bapak nggak di rumah, Agree cari masjid yang lain boleh?”
“Tentu boleh, dimana saja masjid itu sama. Cuma kan jauh,
hati-hati kalau kesana. Nanti Bapak bantu selesaikan masalahmu”. Menjadi
orang baik itu memang susah. Lihat saja anak itu, sekecil dia sudah
mendapat ujian begitu rupa, seiring niatnya menjadi anak baik. Semoga
kau lolos ujian ini, Nak.
——————————
Demikianlah, demi menghindari teman-teman yang suka memukulinya,
Agree mencari masjid lain, meski jaraknya hampir setengah kilometer dari
rumah. Selalu dia berangkat dengan mengendap-endap, untuk kemudian
melarikan sepeda sekencang-kencangnya menuju masjid barunya. Seperti
hidup di jaman jahilliyah bukan? Namun anak itu sangat teguh menjalankan misi ibadahnya.
——————————
30 Juli 2010. Hari ulang tahunnya yang ke-enam. Agree minta diadakan
syukuran dengan mengundang teman-temannya, juga mengundang anak-anak
yatim. Tak lupa teman-teman yang selama ini menjahilinya, juga orang
tuanya, diundang dalam acara itu. Di undangan yang Agree sebar, dia
tulis sesuatu yang mirip tulisan dokter Seto, dokter sahabat Agree yang
juga rekan satu liqa’ denganku: “DILARANG MEMBAWA KADO”. “Biar nggak bikin susah temen-temen Agree”, katanya. Duh Gusti,
benarkah ini generasiku. Aku malu dengan kemilau yang ada di hatinya.
Sangat jernih air samudera yang tersimpan di lubuk hatinya. Ini yang
selalu menjadi pengingatku. Pandangan hidupnya mengesankan. Allah,
inilah anak didikan langsung dari-Mu. Saat aku belum mendidiknya shalat,
dia telah melaksanakannya. Saat shalat masih menyusahkanku, dia justru
mengajariku shalat berjamaah. Saat hatiku berpamrih atas sesuatu
perbuatan, dia bahkan tidak menginginkan hadiah di ulang tahunnya.
Allah, titipan-Mu ini benar-benar menggetarkanku. Dia anakku sekaligus
teladan bagiku. Dia jugalah misi-Mu untuk mengubahku. Lihat saja
shalatku yang semakin teratur, frekuensi shalat jamaah yang hampir
lumayan, dan hati yang semakin lapang tanpa pamrih, membuat hidupku
menjadi semakin tenang dan damai.
Di hari ulang tahunnya inilah aku turun tangan menyelesaikan masalah
Agree yang selama ini takut pada teman-temannya, dan menghalanginya
untuk beribadah. Bahkan di tausiyah yang dibawakan murabbi-ku,
Ustadz Wawan, aku mintakan tema yang ada kaitannya dengan pengalaman
anakku itu.
Aku berhasil menjadikan momentum ini sebagai ajang
mendamaikan anakku dengan teman-teman yang selama ini menjadi
gangguannya. Kulihat anakku membaur dengan semua temannya, termasuk
teman-temannya yang unik tadi. Alhamdulillah, lega sekali batinku.
——————————
Rabu malam, 4 Agustus 2010. Malam ini aku menghadiri undangan rapat
konsinyering di sebuah hotel di Jakarta. Suara adzan ‘Isya sayup
kudengar. Sementara makanan lezat di restoran hotel melambai menantiku.
Hujan deras di luar begitu jelas terdengar. Kubayangkan anakku di rumah,
pasti sudah mengambil air wudhu dan mengenakan baju kokonya, untuk
kemudian bersiap menuju masjid.
Masjid pertamanya, yang lebih dekat dari
rumah, tanpa harus mengendap-endap dan melarikan kencang-kencang
sepedanya. Atau mungkin dia sudah memulai shalat sunnahnya. Dan di akhir
shalatnya, dia lafalkan doa untukku. Doa yang kelak akan menyiramiku di
alam kubur. Dari seorang anak shalih yang disayang Tuhannya. Sejuk
sekali hatiku malam ini. Selalu sejuk setelah menjalani pengalaman
beribadah bersama anakku. Nak, bapakmu juga akan mendoakanmu sekarang. Biar selalu selamat, biar selalu mejadi anak yang shalih, biar semakin berprestasi, dan biar
cita-citamu kelak tercapai. Tak kupedulikan hujan, berlari kucari
masjid terdekat. Tak sabar aku ingin segera tunaikan shalat yang sangat khusyu’ dan merebut simpati Allah, lalu mendoakan anakku.
Sejenak sebelum kuambil air wudhu, kurasakan nada getar dari saku bajuku. SMS. Kubaca pengirimnya: Chio, istriku.
Kubaca, “Yank,barusan aku ditelfon Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata, katanya lukisan Agree lolos seleksi buat pameran di
Inggris”. Seketika aku tertegun. Diam dan terduduk di teras masjid. Aku
menengadah. Bersujud bersyukur. Air mataku yang rasanya puluhan tahun
tak pernah menetes, kini berurai deras.
Terngiang kata-kata anakku. “Kan Agree rajin shalat, Allah pasti ngasih buat orang yang taat”. Aku masih duduk terdiam. Lamat-lamat, iqamah
terdengar. Kuyakinkan dalam hatiku, aku akan menirunya, untuk selalu
ikhlas melaksanakan shalat lima waktu di masjid, dan ikhlas untuk
membersihkan hati dari sikap permusuhan dan dengki. Agar Allah
menyayangiku, seperti Allah telah menyayangi anakku.
(Pematang Siantar, Juli 2011, disarikan dari kisah sejati)
Oleh : Zachroni Sampurno, Biro Hukum, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan
--------------
Huaaaaa.... bikin sedih juga... terharuuuuu...
Saya rindu genk RCAA .... beserta tulisan-tulisan Kang Zach
Kemarin saya mengirimkan sms kepada Kang Zach, saya berharap sms saya dapat melepas rindu saya kepada Kang Zach.
Wuah, nggak nyangka loh, di tengah-tengah kesibukannya, beliau masih sempat-sempatnya membalas sms saya...
Wa'alaikumssalam Mbak Ocha. Saya pun sedih harus meninggalkan blog. Sedih sekali. Tapi saya memang harus memilih. Maaf ya ngga sempat pamit, saya memang hanyut sekali saat itu. Hampir nangis, hehe.
Saya girang banget loh ketika sms saya langsung dibalas oleh orang yang super sibuk nan kece.
Di sini, saya cuma bisa berdoa, semoga Kang Zach, Bu Zach, Arien dan Agree menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, wa rohmah, juga keluarga kece yang disatukan di surganya Allah. Aamiin...
Titip salam ya buat Arien, Agree dan Bu Zach. Salam jauh dari Lumajang~~~
Wassalammualaikum wr wb
Posting Komentar
Posting Komentar