Konten [Tampil]
Assalammualaikum wr wb
Sebenarnya, konsep dan ide penyelenggaraan jazz di sebuah
gunung telah ada beberapa tahun lalu. Sebelumnya, telah diselenggarakan
festival Jazz Gunung yang dilaksanakan di Gunung Bromo.
Nah, acara Jazz de Ijen ini terinspirasi dari acara-acara kreatif yang telah
ada sebelumnya. Bukannya plagiat, tapi memang “Tidak ada karya yang tiba-tiba
muncul, karya kreatif selalu berawal dari karya yang pernah ada sebelumnya”
begitu menurut Sir Joshua Reynolds.
Acara Jazz de Ijen yang diselenggarakan pada tanggal 15
November merupakan acara penutup dari serangkaian kegiatan untuk memperingati
festival Muharram yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Bondowoso. Saya tahu
informasi ini dari Aa’ (karena beliau adalah orang asli Bondowoso). Akhirnya saya pun mengajak
teman-teman untuk mendaki gunung Ijen, mumpung ada event gratisan yang gahoool
banget. Ternyata yang cus berangkat cuma berempat sajooo, seperti yang sudah
saya ceritakan di sini dan di situ.
Secara pribadi, saya sih nggak pernah nonton jazz, palingan
nonton jazz di tipi. Lumajang mah adem-adem wae, nggak pernah terdengar ada acara seheboh jazz.
Iyalah, orang Lumajang nggak semuanya mampu beli tiket mahal buat nonton jazz.
Lagipula, selera musik orang Lumajang bukan jazz, melainkan dangdut koplo,
asselolee!
Kami tiba di lokasi sekitar jam setengah tujuh, lalu kami
menyempatkan diri untuk berfoto di area yang telah disediakan.
Dewinta, Devi dan saya |
Ohya, bicara tentang dresscode yang kami kenakan:
Saya: mengenakan kaos warna ungu lengan panjang yang agak
ngepres (pas/mampat) dengan badan agar ada sesuatu yang langsung menyentuh
badan saya, kemudian dilapisi kaos lengan panjang warna hijau yang agak
kedodoran, kemudian dilapisi sweater abu-abu yang hangatnya nggak terasa, lalu
mengenakan jaket biru merah yang lumayan hangat daripada jaket-jaket saya yang
lain. Saya pakai kerudung langsungan berbahan kaos warna putih. Saya nggak
pakai penutup kepala, yang saya pakai itu pinjam dari Devi, buat foto sebentar,
hehehe. Bawahannya, saya memakai slek kaos ¾, kemudian menggunakan celana item
ada ijonya yang berbahan kaos, kemudian mengenakan celana olahraga berbahan
kaos yang ada warna orennya. Menggunakan dua pasang kaos kaki, kemudian memakai
sepatu olahraga warna item yang biasanya saya gunakan ketika SMA. Saya juga
mengenakan sarung tangan tipis, yang nggak ada jarinya. Dresscode saya malam ini
sangat menghangatkan tubuh saya, uhuy.
Devi: Mengenakan kaos lengan pendek warna item, kemudian
dilapisi kaos lengan panjang yang saya lupa warnanya. Mengenakan jaket yang
tuebal banget dan huangat banget, masih pula pakai jaket parasit. Bawahannya,
pakai slek di atas lutut, pake celana olahraga berbahan kaos warna item.
Mengenakan kaos kaki tebal dan sandal gunung, jadi sensasi rasa dingin dimulai
dari bawah~~ Devi juga mengenakan sarung tangan yang tebal dan hangat
sekaliiiiiiiii serta memakai kerudung dari bahan Paris yang tipis, tapi dia
mengenakan penutup kepala yang hangat sekaleeeeeeee.
Dewinta: mengenakan spandex item tebal, kaos warna ijo,
jaket tebal banget warna coklat. Bawahan mengenakan legging item dan celana
olahraga warna item. Pakai kaos kaki dan sepatu olahraga. Kepala ditutupi
kerudung paris dan penutup kepala warna coklat hasil pinjaman. Sarung tangannya
tebal broo.
Setelah berfoto-foto, kami duduk di bangku penonton. Kami
kagum dan terpesona dengan konsep pencahayaan dan panggung jazz de ijen yang
menarik hati. Acara ini dilaksanakan di tanah lapang. Panggungnya sengaja
membelakangi pepohonan yang tinggi menjulang. Sorotan lampu warna-warni sibuk
menari-nari membuat malam semakin aduhai. Berikut ini adalah foto panggung
ketika lampu sorotnya sedang istirahat menyinari malam.
Acara Jazz de Ijen sebelum dimulai |
Di panggung, ada seperangkat alat music jazz, juga ada dua
wanita yang sedang memeragakan membatik kain dengan menggunakan canting serta
juga ada orang yang sibuk melukis sesuatu di kanvas. Kursinya… ehem, ada
sederetan kursi berkain putih khusus para pejabat pemkab Bondowoso, sedangkan
penonton dan penikmat music jazz disediakan tempat duduk yang konsepnya
bolehlah boleh, yaitu bangku dari bamboo, berasa seperti jaman dulu. Tapi
sepertinya bangku bambunya kurang mantap, meragukan, seperti dibuat ala kadarnya.
Dan benar saja, nggak berapa lama kemudian, ada beberapa bangku yang ambrol
karena nggak muat menahan bokong para penonton yang gede-gede.
Bangku ambruk |
Setahu saya, acara akan dimulai jam 7 malam, tapi lah kok
nggak mulai-mulai. Sekitar jam 6.45, ada salah satu band yang mencoba menghibur
kami sebentar dengan melantunkan dua buah lagu. Kemudian, kami menunggu lagi
hiburan selanjutnya yang tak kunjung muncul. Akhirnya, pada pukul 8 malam,
acara dimulai. Ternyata, acara dimulai ketika Pak Bupati datang. Haduuuuh, pak
Bupati Bondowoso kok datangnya ngaret banget sih. Pak Bupatinya masih
lihat-lihat panggung, juga masih ngasih sambutan. Pak Bupati menceritakan
mengenai asal muasal diselenggarakannya jazz de ijen serta lokasinya yang tiba-tiba
mendadak dipindah ke lapangan perkebunan Jampit (padahal rencananya di paltuding).
Beliau mengatakan bahwa, "Kita cinta Ijen, kita sayang Ijen. Kita menikmati Ijen tapi tidak dengan cara memperkosanya."
Acara hiburan pun dimulai. Opening dibawakan oleh grup music
jazz dari Jember. Saya dan teman-teman datang jauh-jauh dari Jember ke
Bondowoso untuk menonton music jazz, njilalah yang ditonton juga orang Jember,
duuuh duuuuuuh.
Kami cabut ketika opening band membawakan dua buah lagu.
Iya, udah jam 8.30 malam. Kami belum sholat, belum pula perjalanannya yang
masih jauh dan harus melaluinya di kegelapan malam.
Sebenarnya, acara jazz de ijen ini juga menyajikan guest
star, yaitu Dian Permana Putra. Rambutnya gondrong dan saya nggak tahu
lagu-lagunya. Pengen sih menonton guest starnya, tapi jamal bro alias jam
malam. Malam-malam berada di kawasan
Ijen sungguh mengerikan.
Ini saya bawakan foto acara jazz de ijennya dengan guest star mas Dian Permana Putra. Saya comot dari antarajatim.com (kan saya buru-buru pulang, jadi nggak sempat fotoin mas Dian).
Kemudian, kami tancap gas menuju paltuding untuk bermalam. Nah,
kisah bermalam di paltuding Insya Allah akan saya ceritakan di next post yee…
Wassalammualaikum wr wb
jadi inget bukunya si Wadit, kreatif sampe mati
BalasHapusjadi ceritanya PERTAMAX gitu ya
HapusHiihii
harusnya heavy metal yang di tempat dingin, jadi seger dan menghangatkan.
BalasHapuskalo jazz, bisa jadi malah tambah dingin ya..
Jazz itu teamnya Optimus Prime kan
Hapussaya pertamaaax, yang lain pada masih bobo' kali
BalasHapusAda yang masih nyari kodok di sawah
HapusKalau saya lagi ngumpulin botol
Wah Banner Ocha baruuhhhhhhhhhh
BalasHapusOuiuwowwwwwwwwwwwwwwwwwww
weh kreeen sekali acaranya, mantap mbak
BalasHapusitu dian pramana putra bukan?
BalasHapusSeru nih dingin-dingin ditemani jazz, hihihi. Syukurlah gak kebagian bangku yang ambrol. Kebayang tuh yang lagi duduk di sana pasti panik :'D
BalasHapusWah kerennn
BalasHapusdi Padang belum ada nih yang beginian