Konten [Tampil]
Malam ini adalah malam yang memiliki purnama paling buruk. Ya, karena purnama kali ini memancarkan sinarnya dengan sangat terang. Di balik cahaya terangnya, aku merasa purnama mengejekku. Seolah-olah ia berkata, “mengapa harimu tidak sesempurna cahayaku?”
Ah, aku sangat benci dengan purnama malam ini. Sebenci perasaanku kepada Nunu. Tetapi . . . secepat inikah aku mengatakan benci kepada Nunu?
Aku mencintainya dengan sekejap mata dan haruskah aku membencinya sekejap mata? Semudah inikah aku memalingkan perasaanku?
Ya Allah… aku hanya bisa berdoa kepadamu dan berharap agar aku tidak terburu-buru menentukan kemanakah arah hatiku.
***
Berbicara tentang kata benci, ada satu hal yang juga aku benci. Yaitu menunggu. Bagiku, menunggu hanyalah membuang waktu. Jika kita ada pertemuan pada jam ini, ya kita harus datang tepat waktu. Memangnya waktu bisa kamu beli? Dan memangnya kesabaranku bisa kamu beli?
Saat ini aku sedang menunggu dosenku. Ya, menunggu dosen. Bukankah ini hal yang tidak adil bagi mahasiswa? Mahasiswa tidak diperbolehkan untuk datang terlambat, sedangkan dosen bisa menggunakan waktu semau mereka. Ah, sungguh tidak adil.
Daripada aku diam seperti pengangguran, lebih baik aku mendengarkan musik.
Aku pun mengambil ipod kesayangan yang berada di dalam tasku. Aku mendapatkan ipod ini tiga bulan lalu, sebagai permohonan maaf dari Mama dan Papa karena pada bulan tersebut mereka tidak bisa mengunjungiku. Untungnya dua bulan lalu mereka datang mengunjungiku untuk sekedar melepas rindu kepada anaknya. Dan bulan ini mereka tidak datang ke tempatku. Sebagai gantinya mereka memberiku sebuah kamera LDSR.
Aku memang merindukan mereka. Tapi mau bagaimana lagi, toh mereka tidak ada bersamaku karena mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupku.
Ipod ku sedang memutarkan sebuah lagu milik Avril Lavigne yang berjudul Innocence.
Ketika aku sedang menikmati musikku, tiba-tiba ada sebuah gambar yang disodorkan di depan mataku. Hmm, bukankah ini fotoku?
Dan saat aku melihat siapa orang yang menyodorkan fotoku, aku terbelalak kaget. Ternyata Nunu. Dia menghampiriku dengan mengenakan celana jeans dan t-shirt berwarna coklat.
Aku tersenyum sumringah.
“Eh Nunu, sini duduk di sebelahku,” aku menggeser pantatku supaya Nunu bisa duduk dengan nyaman di sampingku.
“Ada apa Nu?”
“Nggak ada apa-apa kok, aku Cuma mau ngasih gambar ini,” kata Nunu sambil menyerahkan sebuah gambar untukku.
Aku melihatnya dengan seksama.
Ini gambarku. Lebih tepatnya ini fotoku. Aku ada di dalam gambar ini.
Aku perhatikan lagi secara detail, ternyata fotonya so sweet ya?
Di sini aku berdiri di sebuah pantai. Pantai ini hanya berisikan aku dan perasaanku. Di pantai ini aku mencurahkan segala kisahku, segala aspirasiku, segala imajinasiku dan segala rupa bentuk cinta dan harapanku.
Aku tersenyum.
“Foto itu keren. Aku suka,” kata Nunu.
“Aku juga suka.”
Banyak sekali orang yang berlalu lalang di depan kami. Dan herannya, sebagian besar dari mereka melihat kami dengan tatapan aneh. Seakan-akan mereka tampak heran melihat kami berdua. Ada apa ya? Apa yang salah?
“Eh ya Cha, aku juga mau mengembalikan kameramu,” kata Nunu dambil menyerahkan kembali kameraku.
“Loh iya, aku sampai lupa kalo kameraku ada di kamu.”
“Jiah, kalau tau gini nggak akan aku balikin kameramu, kan lumayan dapet kamera gratis hasil pengakuan dadakan, ya nggak? Hehe” Nunu nyengir.
Nunu pun mengembalikan kamera kepadaku. Aku sengaja tidak mengecek kameraku karena aku yakin kameraku pasti baik-baik saja di tangan Nunu.
“Kamu ngapain disini Cha?”
“Nunggu dosen. Dosennya ngareeeeet banget. Bikin nggondok mahasiswanya.”
“Kamu sendirian Cha?”
“Enggak.”
Nunu bingung, “emangnya kamu sama siapa?”
“Ya sama kamu…” jawabku enteng.
“Oalaaaaaaaah, aku kira sama siapa.”
“Sama siapa?” cecarku.
Nunu kikuk. “Ee, sama… sama pacar kamu kali…”
“Pacar? Punya aja enggak.”
“Loh? Masa’ cewek secantik kamu nggak punya pacar?”
Aku terdiam. Jujur, perkataanya sangat dalam, menusuk. Tapi, dibawa have fun aja lah…
“Emangnya harus ya punya pacar?”
“Enggak juga sih. Tapi aku heran aja, kenapa bisa cewek secantik kamu kok nggak pacaran.”
“Bukannya nggak pacaran Nu, tapi masih belum menemukan yang tepat. Aku ingin agar kisah asmaraku ke depan adalah perjalanan kisah asmaraku yang terakhir,”
“Kenapa?”
“Karena aku tidak ingin bermain-main dengan cinta.”
Cinta itu ibarat api.
Saat kita sedang membutuhkan api dan memanfaatkannya dengan baik, maka kita akan bisa menjadi sahabat dengannya. Misalnya saat kita memasak, pasti kita membutuhkan api untuk memasak masakan yang akan kita makan. Dalam hal ini, tentunya api sangat berguna bagi kita dan kita benar-benar membutuhkannya. Dan apabila kita bermain api. maka kita akan kena imbasnya. Api yang dimainkan dengan iseng, bisa beresiko besar dan dapat menyebabkan kebakaran.
Cinta. Cinta sama dengan api. Jika kita mengasihinya, maka ia akan selalu ada saat kita membutuhkannya. Tetapi jika kita mempermainkan sebuah cinta, maka kita sendiri yang akan kena imbasnya.
Maka dari itu, untuk saat ini aku lebih berhati-hati dalam memilih pasangan.
***
Seperti biasa, kantin sangat ramai. Sebenarnya aku tidak terlalu suka makan di kantin, tetapi berhubung tadi pagi aku belum sarapan, terpaksa aku makan di kantin. Aku hanya pesan bakso.
“Ocha?”
“Ya? Ada apa Rin?”
Rina, teman satu SMA ku yang juga terdampar di Bali seperti aku. Aku dan Rina beda fakultas. Aku di Fakultas Kedokteran, sedangkan dia di Fakultas Desain Interior.
“Kemaren kamu sama siapa?” tanya Rina.
“Kemaren kapan?”
“Kemaren sekitar jam 9…”
Aku mencoba mengingat-ingat. Jam 9 kemaren aku lagi nunggu dosen dan…
“Oo… dia temanku.”
“Namanya Nusa kan?”
“Iya.” Jawabku pasti.
“Nusa anak musik?” cecar Rina.
“Hmm, nggak tahu.”
“Nusa anak motor?”
“Hmm, nggak tahu juga.”
“Kok kamu nggak tahu sih? Bukannya kamu pacarnya?”
“HAH? PACAR?????”
***
Posting Komentar
Posting Komentar