Konten [Tampil]
Perjalanan hidup dimulai dari perjalanan hati. Kemanakah arah hati, itulah tujuan hidup yang sebenarnya. Langkah kaki hanya membantu dalam mencari penelusuran hidup. Tangan hanyalah sebagai alat untuk mendapatkan pendukung dalam perjalanan.
Semua kisah berawal di sini dan berakhir di sini. Yang berbeda hanyalah waktu. Karena waktu akan terus berputar dan mustahil untuk diberhentikan menurut kehendak manusia.
Nikmati hidup dengan perjalanannya. Karena di setiap jejaknya, pasti ada sesuatu yang dapat diambil untuk dinikmati sebagian dan sebagian lainnya disimpan untuk bekal kehidupan di masa yang akan datang.
Di pantai nan indah ini, aku mencoba menikmati kehidupanku. Ya, mencoba. Setelah sekian lama aku terpuruk dalam ombang-ambing cinta, aku datang ke tempat ini dengan kesendirian hatiku, berharap agar aku bisa melupakannya secara perlahan. Sebuah kenangan yang buruk, harus dikubur. Dan tataplah masa depan yang cerah dengan seseorang yang baru.
“Hei, kamu baru kali ini ya datang ke tempat ini?”
Suara seseorang mengagetkanku. Aku pun terbangun dari lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara.
Ternyata ada seorang cowok berbaju putih sedang duduk tak jauh dari tempatku berada. Matanya menatap lepas ke arah pantai. Aku mengamati sosoknya. Siapa dia? Sepertinya aku tak pernah mengenalinya…
“Kamu kenal aku?” tanyaku dengan hati-hati.
“Enggak,” jawabnya dengan enteng.
Nggak kenal tapi kok sok kenal ya?
“Menambah teman baru, apa salahnya?” sambung cowok ini lagi. Matanya masih menatap lurus ke arah pantai lepas.
Aku hanya bergumam, “hmm…”
“Pertanyaanku tadi belum kamu jawab,” katanya lagi.
Alisku naik. Aku bingung, memangnya tadi nih cowok nanya apa ke aku? Uhm… aku berpikir dengan keras. Tapi sayang seribu sayang, aku adalah orang yang pelupa.
“Emangnya kamu tadi nanya apa?”
Cowok berbaju putih ini menghembuskan nafasnya dengan agak keras, rupanya dia sedikit kesal saat aku memintanya untuk mengulangi lagi pertanyaannya. Maaf deh… aku kan pelupa…
“Ini pertama kalinya ya kamu datang ke sini?” Fiuh... untungnya cowok ini sabar.
Aku mengangguk pasti. “Iya,” kataku lagi. Tapi aku sempat heran, tahu dari mana ya nih cowok kalo aku baru pertama kali datang ke tempat ini?
“Kok kamu tahu?” selidikku.
“Cuma nebak doang,” jawabnya.
Ow... aku kira dia hafal dengan semua pengunjung di tempat wisata ini..
“Kamu bukan orang Bali ya?”
“Iya, kok tahu?”
“Nggak ada logat Bali sama sekali di lidahmu.”
“Hehe... iya juga sih.” Jiah, aku jadi malu sendiri gara-gara kena sekak sama nih cowok. Tapi aku juga nggak mau kalah, aku juga bisa kalo tebak menebak kayak gitu, pasti tebakan ku benar, “kamu bukan orang Bali ya?”
“Tebakanmu salah.”
Haeh? Salah?
“Aku keturunan Bali,” katanya lagi.
“Aku nggak percaya...” sahutku enteng. Aku masih nggak mau kalah.
“Aku dilahirkan di Bali. Orang tua ku adalah keturunan Bali asli. Tapi dalam keseharian, kami tidak pernah menggunakan bahasa Bali. Jadi logat ku sama sekali bukan logatnya orang Bali.”
“Memangnya teman sebayamu nggak ngajakin ngobrol pake bahasa Bali?” cecarku.
“Sejak kecil aku disekolahkan di sekolah Islam, jadi aku jarang sekali menemukan teman yang bisa berbahasa Bali.”
“Memangnya orang tuamu nggak ngajarin kamu bahasa Bali?”
“Orang tuaku sibuk dengan relasi bisnisnya di luar negeri. Satu-satunya orang yang bisa bahasa Bali adalah kakakku, karena dia sering ngeluyur bareng teman-temannya. Sedangkan aku adalah orang yang sulit berinteraksi dan bergaul dengan orang-orang yang belum pernah aku kenal,” jelasnya dengan panjang lebar.
“Lah aku? Aku kan juga nggak pernah kenal sama kamu, tapi tiba-tiba kamu ngajakin aku ngobrol,” cecarku lagi.
“Karena aku yakin kamu nggak bisa bahasa Bali.”
Wuah, ngejek nih...
“Nggak logis jawabanmu,” seruku dengan nada judes.
“Terserah,” katanya dengan nada sok cool. Ugh, bikin enek!
Untuk beberapa saat, kami berdua saling terdiam. Dia sibuk memainkan pasir yang ada di sekitarnya. Sedangkan aku? Aku hanya menunggu dengan pasrah berharap cowok di sebelahku ngajakin aku ngoborol duluan.
Nggak berapa lama kemudian...
“Kamu islam ya?”
“Iya, kok tahu?” sahutku dengan semangat. Maklum, aku kan jadi kegirangan karena kita nggak jadi patung untuk selamanya gara-gara kelamaan membisu.
Cowok ini diam.
Aku heran kenapa cowok ini diam. Apa salahku ya?
Dan cowok ini masih tetap diam.
Ya ampun...!!! Bodohnya aku?! Jelas aja dia tahu kalo aku orang Islam, lah wong aku pake jilbab?! Ah, gimana sih... kok bodoh banget...
Ketimpuk malu untuk kedua kalinya nih aku!
Cowok di samping ku ketawa pula! Lebih tepatnya menahan ketawa. Ah, sial... diketawain...
“Pantesan...” sahutnya.
“Pantesan apaan?”
“Berjilbab.”
“Lah emangnya kenapa kalo aku berjilbab? Memangnya ada yang salah kalo orang kayak aku pake jilbab?” cecarku. Aku malah sewot.
"Siapa juga yang bilang salah kalo kamu berjilbab?" cecanya.
Duh, ketimpuk malu tiga kali nih! Ah, nih cowok nyebelin banget. Baru kenal aja udah bikin orang sewot nggak karuan. Phew...
Aku diam, menahan kesalku.
Cowok menyebalkan ini juga diam. Tak tahulah apa yang dia lakukan saat ini. Palingan dia main-main pasir lagi. Yaa, aku akui pasirnya lembut. Lembuuuuuuuut banget. Terasa asyik jika dibuat main-main kecil untuk penghibur diri.
Matahari masih jauh untuk menghabisi senjanya. Aku masih punya banyak waktu untuk menghabiskan hari pertamaku di sini. Jujur, aku betah di sini. Pemandangannya sungguh indah. Langit yang luas, air laut yang mampu membirukan hati serta pohon-pohon di sekitarnya yang mampu menyejukkan nurani.
Di sini sungguh indah. Sangaaaaaaaaaaaat indah. Dari semua pantai yang aku jelajahi selama setahun ini di Bali, baru pantai ini yang berhasil mempromosikan pesonanya kepadaku. Dan satu hal yang aku sesalkan, mengapa aku baru datang ke sini? Ya, memang. Penyesalan datang di akhir. Kalau penyesalan datang di awal, apa jadinya?
Indahnya pulau dewata membuatku betah tinggal di sini. Apalagi pulau yang berhasil membanggakan nama Indonesia ini memiliki sejuta kharisma melalui keunikan tradisinya, kekhasan budayanya dan keelokan wisatanya. Aku selalu bergumam, Bali memang indah...
Di satu sisi, aku datang ke sini untuk... untuk melupakan seseorang yang pernah memperburuk hidupku. Bodohnya aku saat aku mempercayai cintanya. Ah, lupakan. Toh, tujuanku datang ke Bali adalah untuk mendapatkan sesuatu yang baru. Fiuh, semangat!
Aku semakin terpesona dengan keindahan pantai yang sedang aku pijaki ini. Aku mendongak ke atas, tiba-tiba ada burung elang terbang di langit nan cerah ini. Dan tiba-tiba entah mengapa ada perasaan takut yang mengganjal di diriku. Apa ada pertanda buruk? Ah, masa sih?! Semoga pertanda baik, amin...
Cowok di sebelahku masih terdiam. Sepertinya ia semakin larut dengan pikirannya. Aku mengamati sosoknya. Kalau dilihat lagi dengan lebih jelas, ternyata nih cowok manis juga ya?
“Nama kamu siapa?”
Haeh? Sontak aku kaget. Aku sedang asyik mengamati cowok manis ini, eh tiba-tiba dia menangkap mataku yang sedang mempperhatikannya. Ah, malu aku…
Aku gagu untuk menjawab pertanyaannya. Dan bodohnya aku saat aku menjawab, “ka-kamu nanya ke siapa?”
Ampuuuuuuun… aku ingin kebodohanku berhenti saat ini juga…
“Ya kamu…”
“Aku Ocha…” jawabku malu-malu. Meski malu, tapi mau, hehe…
“Udah lama tinggal di Bali?”
“Baru setahun.”
“Asli mana?”
“Bandung.”
“Kok bisa nyampe’ sini?”
Ternyata nih cowok cerewet juga ya?
“Aku lari…”
“Maraton? Kuat banget?”
“Bukaaaaaaaaan…. Iiiiiih” aku jadi gemes sendiri sama nih cowok.
“Lari dari apa? Seseorang?”
“Iya, mantan.”
“Oo, aku kira mafia.”
Aah! Nih cowok kok nyebelin banget sih! Yang sini mau curhat colongan, eh yang situ malah nggak serius sama sekali.
Saking gemesnya, aku mengambil segenggam pasir dan aku lempar ke bajunya. Dia marah. Tapi dia nggak mau kalah. Alhasil, dia membalasku dengan melakukan hal yang sama, melempar pasir dengan tangan kanannya. Tapi nggak kena, karena aku berhasil menghindar darinya. Aku kan juga nggak mau kalah…
Dan kami larut dalam keseruan kami bermain lempar pasir. Sungguh di luar dugaan kami bisa bercanda tawa seseru ini. Meskipun kami baru saling mengenal, tapi kami sudah merasa akrab. Dengan sebuah pertemuan yang tak terduga, di tempat yang tak terduga, di suasana yang tak terduga dan dengan seseorang yang tak terduga.
Aku capek. Capek kejar-kejaran mulu nggak ada habisnya. Seru sih seru, tapi capek tauuuuu…
Aku pun meletakkan diri di atas pasir putih ini. Cowok manis yang menjadi tambahan di daftar teman baru duduk di sebelahku. Ia mengembuskan nafasnya terengah-engah. Rupanya dia sangat kelelahan. Sepertinya fisiknya tidak terlalu kuat untuk melakukan aktivitas jasmani seperti ini.
Aku melihat jam tanganku. Sudah jam 5 sore. Sebenarnya masih belum terlalu sore sih, tapi kalo menjelang malam biasanya aku membantu meme – sebutan untuk bude ku – memasak di dapur.
“Hei kawan baru, aku pulang dulu ya? Aku harus membantu Meme.” Aku pamit dengan santun.
“Oke, hati-hati…”
Aku berdiri dan melangkah pergi meninggalkan tempatku semula.
Tapi secara tidak sengaja, langkahku terhenti hanya untuk menoleh kepada teman baruku dan bertanya, “nama mu siapa?”
“Panggil saja Nusa.”
“Hah? Nusa? Emangnya Nusa Dua?”
“Iya… Nusa Dua…”
“Ah, ngarang lo. Nusa Dua kan nama pantai ini…”
Cowok manis itu hanya tersenyum. Aku pun melanjutkan perjalananku pulang.
Hmm… kisah yang baru di tempat yang baru dengan seseorang yang baru. Semoga kisahku yang baru ini tidak ada yang memperbaruinya, karena hatiku terlanjur baru untuk mengenali sebuah cinta yang baru.
Posting Komentar
Posting Komentar