Konten [Tampil]
Sepulang sekolah, aku selalu berada di kamar kakek. Aku belajar, makan dan sholat di kamar kakek. Aku ingin kakek tak merasa kehilangan aku yang menjadi cucu bungsunya. Siapa lagi yang akan merawat kakek selain aku? Anak-anak kakek tak pernah mempedulikan kakek. Mereka sibuk dengan kehidupan baru mereka, tanpa mempedulikan ayahnya. Cucu kakek yang lain, sama sibuknya dengan orang tuanya. Saudara kakek, tak berada di dekat kakek, rumah mereka jauh dari jangkauan. Kakek juga tak ingin dirinya dirawat oleh seorang perawat. Dan, aku lah yang akhirnya harus menjaga kakek. Tapi, aku nggak pernah merasa keberatan kok!
Kakek, adalah satu-satunya orang yang masih hidup yang kusayang. Papa dan mamaku sudah lama meninggal. Mama meninggal saat mempertaruhkan 2 nyawa, nyamaku dan nyawanya sendiri, aku turut berduka untuk mama yang telah memperjuangkan kelahiranku. Sedangkan, papa telah meninggalkanku selama 13 tahun, saat aku masih berumur 5 tahun, papa mengalami kecelakaan pesawat yang mengantarkannya ke luar negeri untuk urusan bisnis. Sedangkan, saudara-saudaraku tak ada yang sayang padaku, menjenguk pun sama sekali tidak, apalagi ingat padaku dan sayang padaku. Hanya kakek yang aku punya. Satu-satunya harta yang paling berharga bagiku.
“Pus… tolong ambilkan air putih untuk kakek”
Pus… yang dimaksud itu aku. Sebenarnya namaku tuh Pupus. Yang memberi nama Pupus itu kakek. Aneh juga ya namaku? Tapi, saat aku lahir, aku tak bisa protes kepada kakek tentang kejelekan namaku. Dipanggil ‘Pup’ dikira nggak sopan. Kalau dipanggil ‘Pus’ dikira lagi memanggil kucing. Duh, repot kan? Saudara-saudaraku paling senang memanggilku Pup! Ah, biarlah mereka berkata apa. Aku pernah bertanya kepada kakek, kenapa aku diberi nama Pupus. Kakek menjawab dengan semangat, ‘karena kakek rindu nenekmu, nenekmu paling suka sama kucing, kucingnya biasa ia panggil pus’ dan oleh sebab itu, kakek memberiku nama Pupus, biar ia bisa memanggilku pus, layaknya kucing kesayangan almarhum istrinya.
***
“Hah? Warisannya biola?” kata mereka serempak. Mereka yang kumaksud adalah Om Hadi, Om Nyoto, Om Jusuf, Tante Chusnul, Tante Santi, Tante Sri, Emi, Didik, Eko dan Ghoni. Biar kujelaskan: Om Hadi adalah anak pertama kakek, istrinya bernama Tante Chusnul, anaknya yang super judes itu bernama Emi. Anak kedua kakek adalah Om Nyoto, istrinya bernama Tante Santi, anaknya bernama Didik, sangat jenius tapi nggak bisa bersosialisasi, percuma kan? Anak ketiga kakek bernama Tante Sri, suaminya bernama Om Jusuf, anaknya bernama Eko dan Ghoni, sama-sama gendut, nggak jauh berbeda dari ayahnya. Papaku adalah anak terakhir, mama adalah menantunya kakek, dan aku adalah cucu yang paling bontot di antara silsilah keluarga Wijaya.
Mereka semua matre! Kenapa aku bisa menyimpulkan bahwa mereka matre? Karena mereka hanya ingin harta warisan kakek, dan berharap mereka dapat menguasai warisan keluarga Wijaya. Tapi, saat mereka tau bahwa warisannya hanyalah biola, mereka langsung kaget. Mereka tak percaya bahwa warisan yang mereka dambakan selama ini hanyalah biola. Seberapa penting biola bagi mereka?
“Masa’ cuman biola?” protes Om Hadi.
“Iya, bukannya harta warisan itu berupa rumah, mobil, tanah dan saham perusahaan?” kata Tante Chusnul yang membela suaminya.
“Kok biola sih? Biola tuh bisa kami beli sendiri meski hanya dengan membalikkan tangan” protes Om Nyoto.
“Biola itu sama sekali nggak berguna buat kita” kata Tante Santi yang ternyata juga matre.
“Kok biola sih kek? Peralatan make up juga boleh kok kek” kata Emi yang centil dan sok cantik.
“Ah, terserah deh, emang gue pikirin, belajar aja belum kelar, kok ngurusin warisan?” kata Didik yang sok jenius dan sok memprioritaskan belajar sebagai kebutuhan utamanya.
“Jangan biola kek” kata Eko si gembul.
“Iya, jangan biola! Makanan aja!” kata Ghoni yang nggak kalah gembulnya sama adiknya yang hanya berselang 1 tahun.
“Haduuuuh, kalian berdua tambah bikin pusing mama deh! Mama lagi pusing mikirin warisan yang nggak kelas ini, eh malah kalian tambah dengan kebodohan kalian!” kata Tante Sri yang sepertinya dia nggak begitu sayang dengan kedua anaknya, mungkin karena kedua anaknya terlalu doyan makan kali ya?
Kakek hanya bisa terdiam, sepertinya Kakek tak peduli dengan omelan anak-anaknya dan cucunya. Mungkin ia punya rencana tersendiri, tapi apa ya?
“Udah, udah! Nggak pake adu protes kayak gini! Percuma! Seberapa banyak air liur yang keluar dari mulut kalian, nggak akan merubah niat kakek untuk mewariskan biola kesayangannya.” kata Om Jusuf yang menengahi pertengkaran.
“Lalu, bagaimana ini Pa?” tanya istrinya yang semakin cemas karena tak mendapatkan harta warisan.
“Gini aja deh! Karena dari kita nggak ada yang ingin mendapatkan warisan yang hanya berupa biola, bagaimana kalau kita berikan saja kepada Pupus?” kata Om Jusuf.
Hah? Aku?
“Pupus? Pupus siapa?” kata Emi dengan lugunya. Duh, nih anak bikin sebel hati aja! masa’ sama saudaranya aja dia nggak kenal?!
***
Haduh, kok biolanya ada di gudang sih? Aku kira udah disiapin! Ternyata, harus nyari dulu, nyari di gudang pula! Huh, nasib! Mana sih biolanya? Kok nggak ketemu-ketemu? Disimpan di mana sih sama kakek? Masa’ aku harus nyari tuh biola di tumpukan-tumpukan ini?
Tak berapa lama kemudian, aku menemukan sesuatu. Sepertinya ini deh biolanya! Alhamdulillah, biolanya udah berhasil kutemukan. Ku buka tas biolanya, dan wow! Biolanya masih terawatt. Biolanya kakek keren juga!
Ok! Saatnya kembali ke kamar kakek. Dan memberi tau kakek kalau aku telah berhasil menemukan biola yang kakek maksud.
***
Duh, gimana cara memainkannya sih? Aku kan nggak berbakat di dunia musik, gita aja nggak bisa, apalagi biola! Duh, kenapa harus biola sih yang harus kupelajari? Kok nggak yang lain aja???
Biola ini, kalau nggak aku mainkan, nggak ada gunanya dong! Masa’ aku mau nanya ke temen-temen, males dong kalau mau bawa ke sekolah. Pembantu-pembantu di sini juga nggak ada yang bisa main musik, bisanya nyanyi doang! Saudaraku? Mereka pasti merasa nggak level dengan biola yang sungguh melankolis. Huh! Aku harus bertanya kepada siapa ini?
Jujur, aku merasa sungkan jika aku belajar dengan kakek. Tapi, satu-satunya orang yang bisa biola di rumah besar ini hanyalah kakek, karena kakek yang mempunyai biola ini.
Yach, biola ini cuman bisa aku pandangi terus sejak tadi. Lagipula, aku juga tak bisa memainkannya. Ah, tambah pusing nih gara-gara di depan mata ada barang nganggur.
“Pus, kamu sudah bisa memainkan biolanya?” kata kakek yang mengagetkanku.
“Hehe” aku hanya bisa menyeringai. Maklum, aku bener-bener nggak bisa.
“Kamu nggak bisa?”
“Iya kek!” aku membalikkan badan dan menghampri kakek yang ada di tempat tidur.
“Kenapa nggak minta ajarin kakek? Kakek loh bisa”
“Sungkan kek”
“Ngapain pake sungkan segala? Lah wong kamu cucu kakek kok!”
Yaa, aku hanya bisa tersenyum.
“Sini, kemarikan biolanya. Nah, kakek ajarin ya?” Kakek menawariku belajar biola. Uh, senangnya, akhirnya ada yang bersedia mengajariku bermain biola.
***
Tasnya biola kok kotor banget ya! Harus dicuci nih! Ok, saatnya mengeluarkan barang-barang yang ada di tas biola. Saat aku mencari di saku tas biola, aku menemukan sebuah amplop, rupanya ada isinya. Apa ya isinya? Aku buka ah! Eh, nggak boleh! Ini kan punya kakek, mungkin aja privasi.
“Kek, amplop ini punya siapa?” tanyaku.
“Amplop? Kamu menemukannya dimana?”
“Di saku tas biola kakek”
“Sini, bawa kemari amplopnya”
Aku pun mengahmpiri kakek yang berada di tempat tidurnya. Aku duduk di dekat kakek, berharap agar aku bisa mengintip isi amplopnya.
“Amplop ini buat kamu” kata Kakek.
Heh? Aku bengong. Apa maksud Kakek?
“Coba deh kamu buka dan kamu baca” perintah kakek.
Aku pun membuka amplop dan mengambil surat yang ada di dalamnya, dan saat kubaca… “Apa ini benar kek?”
“Kakek mengangguk dan tersenyum, “Coba baca isinya biar kakek juga bisa tau”
“Barang siapa yang memiliki biola kesayangan saya, maka dia akan mendapatkan seluruh harta kekayaan saya tanpa terkecuali” aku masih tak percaya. “Apa ini benar kek?”
“Benar, masa’ kamu nggak percaya sama kakek?”
“Wuah, terima kasih ya kek!” aku segera memeluk kakek. Kami berdua tersenyum bahagia. “Terima kasih Kakek”
TAMAT
Posting Komentar
Posting Komentar